MEA Antara Peluang dan Tantangan Dalam Perspektif Dunia Pendidikan
Selasa, 17 Mei 2016 09:00 WIBOleh Liya Yuliana *)
*Oleh Liya Yuliana
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah resmi dimulai pada 31 Desember 2015 lalu. Tujuan utamanya menjadikan kawasan ASEAN pasar dan basis produksi tunggal, kawasan ekonomi yang kompetitif (bersaing), kawasan pembangunan ekonomi yang adil dan kawasan yang tergabung ke dalam ekonomi global.
Potensi SDA Indonesia
Indonesia negeri yang kaya. Sumber Daya Alam melimpah ruah. Aneka macam tanaman ditanam tumbuh dengan subur. Ibarat pohon singkong dilempar ke tanah pun bisa hidup. Namun sayangnya wilayah yang subur dan kekayaan yang melimpah tak menjadikan masyarakat Indonesia tergolong masyarakat kaya. Bahkan masuk kategori masyarakat miskin. Terdapat gap/rentang yang cukup signifikan antara negara dan kondisi masyarakatnya.
Kekayaan alam yang melimpah belum mampu dinikmati masyarakat. Gunung emas Papua yang seharusnya dikuasai negara kini berpindah ke tangan asing. Dari aneka macam dan sekian banyak SDA yang ada di negeri tercinta, negara hanya mendapat 20%, sisanya yang jauh lebih besar yakni 80% dikuasai asing. Rakyat kecil tinggal gigit jari.
Kondisi Masyarakat
Di sisi lain, mayoritas mata pencaharian masyarakat Indonesia adalah petani. Semakin mahalnya harga pupuk dan upah tenaga kerja tidak dibarengi dengan kelayakan harga hasil pertanian menjadikan para petani kian menjerit. Ditambah lagi persaingan yang semakin ketat dengan dunia internasional pasca hadirnya MEA.
Bonus demografi yang dimiliki Indonesia menjadi peluang besar berupa tenaga kerja. Saat bonus demografi ini tidak disiapkan menjadi generasi pemimpin/generasi hebat maka bisa menjadi ancaman tersendiri. Apalagi ditopang biaya pendidikan perguruan tinggi yang melangit dan hanya mampu dijangkau kalangan menengah ke atas. Biaya pendidikan gratis dari SD hingga SMP setidaknya menjadi angin segar bagi rakyat Indonesia. Jika dahulu kakek nenek moyang hidup dengan buta huruf, kini angka itu semakin mendekati angka nol. Namun hal ini berbanding terbalik dengan biaya pendidikan perguruan tinggi. Dibutuhkan kantong yang dalam untuk biaya kuliah. Hal ini mengakibatkan kalangan menengah ke bawah tak mampu menjangkau bangku perkuliahan dan hanya mencukupkan hingga SMA/K. Alhasil SDM yang dihasilkan kualitas minimalis.
Dari segi porsi jenjang pendidikan, SMK memiliki porsi 70%, SMA 30%. Porsi yang sedikit pada jenjang SMA dibanding SMK menjadikan kekhawatiran tersendiri. Lulusan SMK konon menghasilkan anak didik yang terampil, penurut namun dengan upah tenaga kerja yang minimal. Tidak sebesar upah tenaga kerja lulusan SMA yang kemudian berlanjut sarjana. Minimnya pendidikan yang dimiliki (SMK) harus bersaing dengan dunia internasional menjadikan masyarakat Indonesia berpotensi menduduki jabatan sebagai buruh (bukan tenaga ahli).
Adapun pendidikan di Indonesia dari lulusan sarjana hingga doktor menurut dosen IAIN Surakarta Dwi Condro Triono dalam sebuah seminar di FBS Unesa tingkatan berfikir pada level tiga dari enam tingkatan. Dan level berfikir tingkat enam adalah para mujtahid (orang yang memiliki kemampuan berijtihad/menggali hukum). Dari segi kualitas SDM, Indonesia tergolong rendah. IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia menduduki peringkat ke-124 dari 189 negara. Dengan kondisi demikian maka tampak bahwa MEA menjadi ancaman.
Pandangan Islam
Tak ada aturan yang sempurna selain dari Rabb semesta alam. Dalam memecahkan masalah pun yang solutif adalah Islam. Bukan selainnya. Terbukti lebih dari tiga belas abad memimpin dunia menandingi dua peradaban sebelumnya (peradaban Romawi dan Persia).
Lalu bagaimana Islam memandang soal MEA? Sekilas tampak MEA memberikan peluang besar untuk maju dan bergerak cepat. Namun jika dicermati, ia juga menjadi tantangan bahkan ancaman. Dapat dikatakan bahwa MEA adalah bentuk liberalisasi ekonomi. Semuanya diserahkan kepada individu dan mekanisme pasar. Sementara dalam Islam negara bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya. Rasul berpesan ”Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka.” (HR Muslim).
Dalam Islam, perdagangan luar negeri merupakan hubungan antarnegara dan itu ada dalam tanggung jawab negara. Dalam Islam negara memiliki kewenangan mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain, termasuk hubungan rakyatnya dengan rakyat negara lain baik dalam bidang ekonomi, perdagangan atau lainnya. Karena itu perdagangan luar negeri tidak dibiarkan bebas tanpa kontrol negara.
Untuk mampu bersaing dengan negara lain tentu membutuhkan persiapan SDM yang matang. Dunia pendidikan tidak mencukupkan bebas biaya pada level SD-SMP saja akan tetapi hingga perguruan tinggi tanpa syarat intelegensi dan ekonomi. Sehingga semua elemen masyarakat tersentuh bangku perkuliahan. Selain itu memberi penghargaan yang besar bagi penemuan baru yang bermanfaat bagi umat. Menghargai karya masyarakat sebagaimana dahulu era Islam berjaya. Sebuah karya buku dihargai emas seberat buku yang dihasilkan. Saatnya manusia kembali kepada aturan Islam maka yang ada jalan keselamatan. Baik di dunia maupun di akhirat. Mengutip kata Prof. Ali Muhammad Ash-Shalabi "Jika pada hari ini negara-negara Islam tertinggal jauh untuk bisa memimpin dunia, maka itu merupakan konsekuensi logis karena mereka sendiri telah melupakan risalah mereka (Islam)."
Allahu A’lam.
Penulis guru SD Muhammadiyah 2 Bojonegoro
Ilustrasi www.pelajarkita.com