Optimalisasi Detik-Detik Terakhir
Selasa, 28 Juni 2016 07:00 WIBOleh Liya Yuliana *)
*Oleh Liya Yuliana
Ramadan di penghujung. Begitu cepat waktu berlalu. Sepertinya baru kemarin ia datang namun kini ia bersegera berlalu dari kita. Akankah kita menemuinya di tahun berikutnya? Ataukah Allah lebih dahulu memulangkan kita sehingga Ramadan ini adalah terakhir bagi kita? Tak ada yang mampu menjamin kehidupan di hari esok. Hari ini dan sekaranglah milik kita.
Menjumpai Ramadan dengan badan yang sehat penuh keimanan sungguh nikmat yang tiada terkira. Waktu yang begitu berarti untuk kita. Namun sayang terkadang kita terlena dengan kambing hitam “Ah lemes, biar kuat puasanya tidur dulu. Nanti bangun jam sekian.” Tanpa kita sadari ternyata waktu tidur dan bersantai tak hanya sekedar merefresh badan dan akal. Namun melebihi ambang batas dan bisa dikatakan membuang waktu kita yang begitu berharga. Waktu pun tak dapat kita kompromikan. Ia senantiasa berjalan dan berjalan tanpa henti dan manusia tak mampu menahannya untuk diam sejenak berhenti berputar. Di sisi lain dalam beraktivitas kita tidak memperhatikan skala prioritas (wajib, sunah, mubah, makruh, haram). Alhasil banyak ketersiaan dalam menjalani hari.
Di saat kita mengikuti lomba lari, apa yang akan kita lakukan saat mendekati garis finish? Tentu kita akan bergegas dan menambah kecepatan kita dengan penuh semangat. Mengutip pesan Al-Imam Ibnu Al-Jauziy rahimahullah “Seekor kuda pacu jika sudah berada mendekati garis finish ia akan mengerahkan seluruh tenaganya agar meraih kemenangan, maka jangan sampai kuda lebih cerdas darimu. Karena sesungguhnya amalan itu ditentukan oleh penutupnya. Untuk itu, jika kamu termasuk dari yang tidak baik dalam penyambutan, maka semoga kamu bisa melakukan yang terbaik saat perpisahan”.
Sebuah analogi saat menghadiri pesta pernikahan, para tamu undangan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Mulai baju, tas, kerudung bahkan sepatu serba baru atau paling tidak yang terbaik. Terasa tidak sopan jika menghadiri pesta pernikahan mengenakan kaos oblong, sandal jepit dan pakaian rumahan. Ketika mempersiapkan menghadiri pesta, sedemikian hebatnya persiapan kita. Yang menjadi pertanyaan “Sudahkah kita menyambut Ramadan terutama sepuluh malam terakhir dengan amalan teristimewa dan semangat menggapai malam Lailatul Qadar?” Sementara Allah Rabb semesta alam mengistimewakan waktu teristimewa ini (Ramadan). Di dalamnya terdapat malam yang nilainya seribu bulan. Allah berfirman dalam surat Al Qadr “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukan kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”
Dalam riwayat Aisyah (istri rasul) ketika telah memasuki sepuluh hari terakhir, Rasulullah mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya. rasul menghidupkannya dengan salat, doa, tilawah Alquran dan ketaatan yang lainnya. Meski dalam riwayat lain, Rasul telah melakukan penaklukan Kota Makkah juga tanggal 20 Ramadan 8 H.
Jika kemarin kita belum optimal, banyak hal yang tersiakan, hari inilah kesempatan kita mengoptimalkan diri. Meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah kita. Bukan besok, lusa dan lusanya lagi. Sebab kita belum tentu menemui masa yang akan datang.
Fakta yang berjalan di tengah masyarakat kita menjelang Lebaran (sepuluh hari terakhir) kaum muslim merapat ke mal, pasar dan tempat belanja. Ya, belanja untuk mempersiapkan Lebaran. Baju baru, sandal/sepatu baru dan aneka macam kue serta pernak-pernik lainnya. Perlu diingat Allah hanya memerintahkan kita untuk memakai pakaian terbaik saat salat Id dan tidak harus baru. Pun jika bermaksud membeli baju baru semoga jangan sampai menguras waktu utama kita. Waktu beribadah di bulan Ramadan jangan sampai tergadaikan oleh hal kemubahan, ketersiaan bahkan kemaksiatan. Mengisi Ramadan dengan ibadah kepada Allah semata. Jangan paksakan diri menyambut Lebaran dengan jajanan dan perlengkapan teristimewa. Cukuplah mengistimewakan Ramadan ini dengan amalan salih sebelum penyesalan itu hadir. Cukuplah Rasul menjadi teladan bagi kita bagaimana beliau menyambut sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan. Bukan malah terbawa arus yang belum tentu mampu menyelamatkan kehidupan kita di akhirat kelak. Allahu A’lam.
Penulis guru SD Muhammadiyah 2 Bojonegoro
Ilustrasi www.dailymoslem.net