Muhammad Alim, Perajin Kain Tenun dari Sumberrejo,
Ingin Mengembangkan Tenun Khas Jonegoroan
Jumat, 18 November 2016 07:00 WIBOleh Vera Astanti
Oleh Vera Astanti
Sumberrejo - Satu inovasi baru, setelah batik maka tenun pun dikembangkan di Bojonegoro. erutama tenun dengan motif 14 resmi untuk batik Bojonegoro.
Namanya Muhammad Alim, warga Desa Kedungrejo Kecamatan Sumberrejo, salah satu yang mengembangkan tenun khas Jonegoroan.
"Tenun bukan barang baru buat saya. Saya sudah menekuni tenun secara otodidak sejak tahun 2010 lalu," ujar pria berusia 37 tahun ini, Kamis (17/11/2016) pagi.
Dia bercerita, pertama kali mengenal tenun saat dirinya bekerja di sebuah pabrik tenun di Kabupaten Kediri kurang lebih 2 tahun, lalu berpindah ke Lamongan. Roda nasibnya berubah semenjak di Lamongan. Dia mulai mendapatkan kepercayaan untuk membuat tenun di Desa Kedungrejo Kecamatan Sumberrejo.
"Karena kebaikan sang pemilik dari Lamongan inilah akhirnya ditahun 2012, saya mendapatkan tiga unit Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) secara cuma-cuma," ungkapnya terharu.
Setelah mendapatkan ATBM 3 unit dirinya mulai mengajak warga sekitar, khususnya para ibu dan remaja putri untuk menekuni usaha tenun. Karena hasil tenunannya memuaskan, maka dia mendapatkan bantuan lagi 2 ATBM.
Kini alat tenun yang dimiliki sebanyak 7 unit, terdiri 2 unit tenun kain batik dan 5 alat tenun sarung. Sejak 27 Oktober 2014, dirinya mulai digandeng oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bojonegoro.
Kini, Alim memiliki 5 pekerja yang menggarap sarung tenun dan kain tenun khas Jonegoroan. Sekarang memang dia mulai menggeluti tenun batik Jonegoroan.
"Dari 120 kain tenun yang dibuatnya kemarin habis terjual di acara launching tenun Jonegoroan," katanya bangga.
Dalam minggu-minggu ini dirinya akan mulai menggarap tenun khas Jonegoroan. Hanya saja alat tenunnya memerlukan sedikit perbaikan. Kemarin, sedikit mengalami goncangan dan beberapa benang putus saat dibawa ke Festival Batik dan Tenun, Sabtu 12 November 2016.
"Untuk harga tenun ini relatif lebih mahal dibandingkan batik, karena tingkat kerumitan pembuatan tenun," sambungnya.
Dia menuturkan, tahap pertama pembuatan kain tenun adalah gubin atau memintal benang putih menjadi gulungan kecil. Kemudian tahapan mlangkang atau membuat pola, digambar sesuai pola yang diinginkan.
Setelah itu benang diikat dengan rafia dan kemudian dilepas dan tahapan selanjutnya adalah pewarnaan. Baru kemudian benang akan disusun dalam 2.970 gun atau jarum.
Alim menjelaskan, tahapan memasukkan benang ke dalam gun ini memang harus ekstra hati-hati. Jika salah di gun satu saja, maka berpengaruh pada hasil tenunan. "Dari sinilah maka harga tenun jauh lebih mahal, untuk sarung saja dijual dengan harga Rp 150 ribu sampai RP 250 ribu rupiah. Sedangkan untuk kain tenun seharga Rp 170 ribu untuk ukuran 105 centimeter kali 225 centimeter," tuturnya.
Setiap minggu, Alim mampu menghasilkan 20 lembar sarung dari 5 alat tenun. Sedangkan untuk kain tenun, satu hari hanya mampu menghasilkan satu potong kain.
Alim sangat berharap tenun ini akan sama berjayanya dengan 14 motif batik Jonegoroan. Batik sedemikian dikenal bahkan anak-anak sekolah mengenakan seragam ini.
"Oleh karenanya saya berharap agar pemerintah memberikan peluang yang sama untuk tenun ini. Setidaknya para Pegawai Negeri Sipil mencintai tenun dan menggunakannya di acara penting. Selain itu agar promosi ditingkatkan sehingga tenun Bojonegoro mulai dikenal di khalayak ramai," pungkasnya. (ver/tap)