Novel Mata Penakluk, Manakib Abdurrahman Wahid (2015) Karya Abdullah Wong
Mata Sang Penakluk
Jumat, 09 Oktober 2015 22:00 WIBOleh Totok AP
Oleh Totok AP
ABDULLAH Wong kembali meluncurkan novelnya yang kedua, setelah sebelumnya sukses dengan novel pertamanya, Mada. Novel Keduanya, yakni Mata Penakluk, Manakib Abdurahman Wahid.
Dalam sebuah acara bedah bukunya di Pesantren Tebuireng Jombang, Abdullah Wong mengaku dalam penulisan novel Mata Penakluk, dirinya menggunakan penelitian dan penggalian data yang valid. Wong juga menceritakan bahwa dalam penggarapannya, tidak jarang dia terbawa alur cerita yang ada.
“Kalian yang membaca bisa nangis, saya terkadang sambil menulis tidak terasa air mata ini mengalir,” ujarnya saat itu.
Ahmad Tohari, si penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk, dalam kata sambutan yang tertulis di cover novel ini, menyebutkan bahwa penulis berusaha mendedahkan berbagai sisi pribadi Abdurrahman Addakhil atau yang karib dipanggil Gus Dur. Pernik-pernik masa kecil yang mengharukan, impian menjadi sang penakluk, mencatat pribadi Gus Dur menjadi sosok yang tangguh. Dia tegar setegar batu karang. Dia kokoh, meski badai kerap menerjang. Dia kuat sekuat garuda.
Siapa yang tidak kenal Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, salah satu tokoh bangsa yang unik sekaligus menarik. Demikian pula dengan kisah-kisah yang mengitari hidup. Dalam novel ini, kita akan menemukan bagaimana kecerdasan sekaligus kekonyolan Gus Dur, pendidikan pesantren yang ditempuh Gus Dur, pergulatan diri Gus Dur dengan ayahnya, hingga mimpi-mimpi besar Gus Dur.
Disuguhkan ke hadapan pembaca dalam bentuk sebuah novel dengan menggunakan sudut pandang “aku”, Abdullah Wong, penulis buku ini, berhasil membawa pembaca seolah-olah mendengarkan penuturan Gus Dur secara langsung.
Tapi, lebih dari itu, novel yang dimulai dengan Gus Dur ketika masih di istana, membuat kita tersadar bahwa kiai nyentrik itu pernah menjabat sebagai presiden di negeri ini.
Cerita diawali dengan detik-detik kejatuhan Gus Dur sebagai presiden. Dalam kegalauan menyikapi hasil sidang istimewa MPR yang berupaya mengimpeachmen dirinya, Gus Dur tenggelam dalam lamunan tentang masa kecilnya.
Lintasan masa kecil itu muncul ketika dia merasa sudah tidak mampu lagi mengeluarkan jurus menghadapi ulah MPR itu. Dekrit presiden yang dikeluarkan untuk membubarkan MPR ternyata tidak bergigi. Pangkat sebagai panglima tertinggi TNI sudah tidak lagi digubris.
Dalam situasi tersebut Gus Dur pun berpikir bahwa dia bukan lagi Presiden Indonesia. Lantas Gus Dur pun minta melepas celana panjangnya dan mengganti dengan kaus serta celana pendek.
Sementara meskipun tidak bisa melihat, Gus Dur bisa merasakan bahwa di depan Istana Negara masih banyak berdiri ribuan rakyatnya. Maka dia pun meminta putrinya, Yenni, menuntunnya ke beranda istana untuk memberi salam terakhir kepada rakyat setianya. Itulah salam perpisahan Gus Dur sebagai presiden, sekaligus menyatakan dirinya tetap sebagai rakyat biasa.
Tentang batin Gus Dur ketika dirinya dilengserkan dari dalam istana, Wong dengan indah menulis,
“Sejak aku menginjakkan kaki di Istana, aku tak pernah tahu bagaimana wujud Istana negara ini. Perasaanku tetap sama seperti memasuki rumah-rumah kalian, sahabatku. Jika di halaman Istana ini berkibar sang merah putih, begitu juga di halaman rumahku dan rumah kalian. Warna bendera kita memang sama, merah dan putih. Tapi untuk saat ini, hujan begitu lebat mengguyur halaman rumah kita. Sehingga bendera kita sama-sama tak bisa berkibar sempurna. Aku hanya berharap, hujan tak akan melunturkan merah putih kita. Karena aku sangat yakin, matahari akan segera datang. Selamat berjuang sahabatku, rakyat Indonesia. Perjalanan negeri ini masih sangat panjang. Selamat berjuang sahabatku, rakyat Indonesia.”
Abdurrahman Ad-Dakhil, demikian nama kecilnya pemberian sang Ayah, yang berarti seorang hamba yang penuh welas sekaligus Sang Penakluk. Nama itu terinspirasi dari seorang panglima perang dinasti Umayyah yang tanpa rasa takut menaklukan kerajaan Spanyol hanya dengan tujuh ribu pasukan. Thariq bin Ziyad, demikian nama populernya. Wong menulis,
"Ayah berhenti sejenak, lalu menatap mataku dalam-dalam. Aku tak bisa membedakan siapa sebenarnya yang berpidato. Apakah Thariq bin Ziyad atau Ayah sendiri. “Nak, peristiwa penaklukan itu menjadi inspirasi Ayah untukmu. Itulah mengapa Ayah memberimu nama Abdurrahman Ad-Dakhil, seorang hamba yang penuh welas sekaligus Sang Penakluk!” Meski aku masih bocah dan belum sepenuhnya paham, entah kenapa aku merinding. Hingga kini, aku selalu bertanya dalam hati. Jika Thariq bin Ziyad menaklukkan Andalusia, menaklukkan ketakutan dirinya dan seluruh pasukannya, lalu bagaimana dengan diriku? Apa yang harus aku taklukkan?"
Tidak sedikit buku yang telah mengupas sosok Abdurrahman yang lebih memilih nama sang ayah, Wahid, di belakang namanya ini. Mulai dari pemahaman keagamaan, wawasan kebangsaan, laku spiritual, hingga kumpulan humor yang pernah dilontarkannya.
Namun buku ini tetap memiliki kelebihan karena menghadirkan sosok Gus Dur secara lebih manusiawi dan utuh. Gus Dur yang menangis di usia 13 tahun ketika menyaksikan sang ayah terluka parah akibat kecelakaan hebat di daerah Cimindi hingga menyebabkan kematian.
Abdurrahman Ad-Dakhil mungkin sudah terbaring dengan tenang di samping keluarganya. Namun semangat, pengabdian, keberanian, serta pemikiran-pemikirannya yang selalu menyegarkan akan tetap utuh dalam memori orang-orang yang mencintainya. Terlebih dengan maraknya literatur yang mengabadikan namanya dalam prasasti sejarah.
Keberadaan buku yang mengangkat kisah para tokoh yang memiliki kontribusi besar terhadap masyarakat dan bangsa sudah sepatutnya diapresiasi. Bukan hanya sebagai upaya melestarikan kenangan atas kisahnya semata, atau sekedar sebagai amal jariyah penulisnya. Lebih dari itu, keberadaannya turut memperkaya literatur yang dapat dinikmati pembaca secara luas, terutama kaum muda. Sehingga kisahnya dapat diteladani sekaligus menginspirasi bagi setiap generasi. (*)
Judul Buku: Mata Penakluk, Manakib Abdurrahman Wahid
Penulis: Abdullah Wong
Penerbit: Expose
Cetakan: I, Januari 2015
Tebal: 295 Halaman
Foto Sampul Buku Mata Sang Penakluk