Menikmati Cerita Orhan Pamuk, Peraih Nobel Sastra
Istanbul, Kenangan Sebuah Kota
Rabu, 14 Oktober 2015 08:00 WIBOleh Muhammad Roqib *)
*Oleh Muhammad Roqib
Akhir-akhir ini masyarakat kita disuguhi dengan tayangan film drama berseri dari negeri Turki, negeri yang disebut negeri dua benua. Lihat saja film drama Turki yang mendapat hati di masyarakat mulai King Sulaiman yang kemudian diubah menjadi Abad Kejayaan, Sehrazat, Canzu and Hazal, Elif, dan film serial Kebangkitan Ertugrul. Tampaknya, film-film serial dari negeri Kebab itu mulai menggeser film-film drama India.
Menurut saya film Turki seperti halnya King Sulaiman atau Abad Kejayaan itu memang sangat menarik dinikmati. Kita seperti melihat film sekelas film bioskop di layar kaca. Garapan film Turki mirip seperti garapan film Holywood. Namun, kebudayaan timurnya menonjol. Ceritanya tidak mudah ditebak, karakter tokoh dalam film itu pas, dan alur ceritanya alami, tidak dibuat-buat seperti halnya sinetron di Indonesia. Film serial King Sulaiman atau Kebangkitan Ertugrul misalnya yang mengisahkan kejayaan masa lalu Turki juga digarap dengan serius dengan seting atau latar yang dibangun mendekati sempurna. Kita seperti benar-benar memasuki masa kejayaan masa lalu Turki itu.
Namun, saya tidak ingin bercerita soal film Turki itu. Saya mau bercerita soal Orhan Pamuk, peraih Nobel sastra dari Turki itu. Dia menulis buku sangat bagus judulnya Istanbul, kenangan sebuah kota. Dalam buku ini, Orhan Pamuk menceritakan begitu terperinci sejarah Kota Istanbul dan orang-orang sebelum dirinya yang pernah menulis, melukis, dan memotret Istanbul.
Orhan Pamuk bercerita tentang dirinya sendiri, tentang keluarganya, tentang hubungan emosional yang begitu kuat antara dirinya dengan Kota Istanbul, dan masyarakat yang tinggal di Kota Istanbul itu. Membaca buku ini, kita diajak oleh Orhan Pamuk merasakan dan memasuki dunianya, dan juga Kota Istanbul.
Istanbul, kota yang dibelah oleh lautan Bosphorus itu begitu memikat. Orhan sejak kecil tinggal bersama keluarga besarnya di sebuah apartemen besar yang disebutnya aparteman Pamuk. Apartemen itu jendela-jendelanya menghadap ke laut Bosphorus. Seperti kita lihat di film Canzu and Hazal yang ditayangkan di salah satu televisi swasta, orang Turki biasa tinggal bersama di sebuah apartemen. Kebiasaan itu tentu berbeda dengan masyarakat kita. Kita lebih suka membikin rumah kecil sendiri, tetapi terpisah dengan keluarga besar, ketimbang mengumpul di satu rumah besar atau apartemen.
Menurut saya daya tarik Kota Istanbul itu terletak pada laut Bosphorus seperti yang diceritakan oleh Pamuk. Setiap hari laut Bosphorus itu dilewati kapal-kapal besar dari Eropa. Kapal yang melintas itu bisa dilihat dari jendela apartemen Pamuk. Namun, Pamuk juga bercerita dengan terperinci mengenai sudut-sudut Kota Istanbul yang miskin, bangunan-bangunan reruntuhan kejayaan masa lalu, dan juga kebiasaan masyarakatnya.
Orhan Pamuk boleh dibilang lahir dari keluarga mapan. Setelah kejatuhan Kesultanan Usmani, Turki pada masa itu berubah menjadi sebuah negara republik. Tokohnya adalah Kemal Attaturk. Gerakan Attaturk menjadikan negeri dua benua itu menjadi negeri sekuler. Mereka di sisi lain mengadopsi pemikiran barat dan sebagian masyarakatnya cenderung berkiblat ke barat, dan di sisi lain mereka ingin mempertahankan kebudayaan timur. Maka banyak orang menyebut Turki mempunyai pemikiran barat, tetapi mempunyai jiwa ketimuran.
Orhan Pamuk juga bercerita bagaimana sisi relijius masyarakat Turki. Mereka, sebagian masyarakat Istanbul yang mapan, memang mengakui beragama Islam. Tetapi, jarang dari mereka yang melaksanakan salat, berpuasa, dan lainnya. Pada bulan Ramadan, masyarakat yang mapan ini, menghormati mereka yang sedang menjalankan puasa akan tetapi mereka tidak berpuasa. Mereka bisa bermain kartu seharian dan menyiapkan hidangan yang enak-enak, lalu mereka akan makan pada saat magrib atau saatnya buka puasa. Padahal, mereka tidak puasa.
Pamuk menceritakan, bagi sebagian orang yang mapan itu, kesalehan identik dengan kemiskinan. Memang, ada banyak masjid-masjid, tetapi Orhan Pamuk sendiri dengan jujur mengakui kalau jarang sekali ke masjid itu. Begitu pula keluarganya.
Pamuk menyebut masyarakat Istanbul setelah kejatuhan Kesultanan Usmani itu sebagai masyarakat yang memilih jalan hidup dengan kemurungan atau huzun. Huzun ini semacam spiritualitas yang dipegang oleh masyarakat Istanbul. Keruntuhan kejayaan masa lalu membuat suasana kota dan masyarakatnya diliputi perasaan huzun atau kemurungan. Kesultanan Usmani yang pernah menguasai sebagian daratan Eropa itu akhirnya runtuh dan menyisakan reruntuhan bangunan serta kenangan masa lalu.
Namun, yang saya sukai dari buku Pamuk, Istanbul kenangan sebuah kota ini adalah lukisan-lukisan Melling, pelukis dari Eropa, yang ditampilkannya. Lukisan tentang Kota Istanbul yang dibelah oleh laut Bosphorus itu begitu indah, detail, dan memesona. Ada banyak lukisan tentang Istanbul dan Bosphorus yang ditampilkan. Ia juga banyak menampilkan foto-foto Kota Istanbul itu, orang-orangnya, kapal-kapal yang melintas di laut Bosphorus, serta dirinya sendiri, ayah, ibunya, dan juga kakaknya. Serta apartemen yang ditinggalinya. Ia juga bercerita tentang Kota Jihangir.
Ia juga bercerita tentang penulis Istanbul sebelum dirinya seperti Tanpynar, Yahya Kemal, dan juga Gustave Flaubert yang mengidap penyakit sipilis. Orhan juga bercerita tentang dirinya sendiri sejak kecil, menginjak anak-anak, remaja, dan dewasa. Tentang kesukaannya melukis, dan juga cinta pertamanya.
Buku ini sangat menarik untuk dibaca. Kita seolah seperti menjelajah Kota Istanbul dan meresapi pikiran dan perasaan masyarakatnya. Seorang teman, Bridget Ginty, yang kakaknya tinggal di Istanbul, bercerita kalau dia sangat suka makanan Turki yang disebut kebab itu. “Itu makanan paling enak yang pernah saya makan saat berada di Istanbul,” ujar Bridget suatu ketika. Silakan menikmati cerita Kota Istanbul.
ilustrasi www.wijatnikaika.in