Generasiku Sayang, Generasiku Malang
Rabu, 21 Oktober 2015 08:00 WIBOleh Ika Yuni Astuti *)
*Oleh Ika Yuni Astuti
Sejak awal tahun 2015 Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak mencanangkan Indonesia darurat kekerasan seksual. Hal ini diikuti dengan keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Menentang Kekerasan Terhadap Anak. Namun Inpres tersebut bak kertas yang nempel di dinding, setelah dibaca dan disiarkan berlalu begitu saja. Tanpa punya kekuatan untuk mengubah kondisi generasi negara saat ini. Betapa tidak belum lepas ingatan publik terhadap kematian Angelina di Bali akibat pembunuhan sadis yg dilakukan ibu angkatnya. Publik kembali dikagetkan dengan penemuan sesosok mayat anak perempuan berusia sembilan tahun yang dibungkus kardus di bawah jembatan Kali deres, Jakata barat.
Koordinator Komnas Perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait mengatakan berdasarkan data yang ada, 58% kejahatan kekerasan terhadap anak merupakan kekerasan seksual yang diikuti dengan pembunuhan.
Menurutnya, meningkatnya jumlah kasus kekerasan pada anak dikarenakan adanya penurunan nilai spritual di kalangan masyarakat. Selain itu orang tua masih beranggapan anak sebagai milik bukan sebagai amanah dan titipan Tuhan. Oleh karena itu perlu adanya evaluasi Undang-Undang Perlindungan Anak untuk memberikan hukuman yang tepat kepada pelakunya.
Jika semua institusi sudah lemah, keluarga, dan masyarakat, bahkan negara tidak memadai untuk menjangkaunya, maka bersiap untuk menelan korban yang semakin signifikan dengan data yang mengagetkan. Tak hanya Inpres atau revisi UU Perlindungan Anak, namun generasi kita juga butuh tindakan nyata dari negara. Negara harus jadi panglima. Harus ada kebijakan preventif dan penegakan hukuman yang tegas bagi pelaku.
Islam telah memberikan solusi yang terpercaya. Di antaranya pertama, harus ada kebijakan tegas menutup akses konten porno, melarang perilaku porno (mewajibkan menutup aurat keluar rumah) dan menghilangkan semua bisnis dan film porno dan pelacuran, apa pun konsekuensinya, karena itu keharaman, mengundang azab Allah dan terbukti menghasilkan kerusakan berupa marak kekerasan seksual anak dan bahkan bisa menjerumuskan anak anak menjadi pelaku keharaman itu sendiri.
Kedua, menutup bisnis miras (bukan hanya mengatur peredarannya) dan mengatasi peredaran narkoba. Karena dua benda haram ini seringkali memicu kekerasan termasuk kepada anak.
Ketiga, melakukan perubahan pada sistem pendidikan agar mampu menghasilkan pribadi takwa yang tidak menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsunya.
Keempat, mengentaskan kemiskinan dan memampukan keluarga mendidik anak dengan baik. anak dididik terutama oleh ibu untuk memahami batasan aurat, mengenali anggota tubuhnya bukan untuk melakukan kekerasan atau menyakiti, dipisahkan kamar dari orang tuanya dan saudara lawan jenis ketika cukup usianya.
Bila masih ada yang melakukan kekerasan terhadap anak apalagi sampai membunuh, maka sanksi keras dan tanpa pandang bulu telah disiapkan Islam, seperti hukuman mati bagi pemerkosa dan pelaku sodomi. Bila pelaku pemerkosanya belum pernah menikah, cukup dicambuk seratus kali. Jika pelecehan seksual dan kejahatannya tidak sampai tingkat itu, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta'zir yang bentuk dan kadar sanksinya diserahkan hakim.
Sanksi tersebut dilakukan secara terbuka, dilihat oleh publik dan segera dilaksanakan tanpa penundaan begitu sudah di pastikan pelaku dan tingkat kesalahannya. Dengan begitu pelaku tidak bisa mengulangi tindakannya. Yang lainnya pun menjadi ngeri untuk melakukan kejahatan yang sama.
ilustrasi www.beritasatu.com
Biodata penulis
Nama : Ika Yuni Astuti
Alamat : Jalan Sawunggaling no 60 A, desa ngrowo, Kecamatan/Kabupaten Bojonegoro
Pendidikan : S1 pendidikan Fisika, Alumni UNIVERSITAS NEGERI MALANG
Pekerjaan : Mengajar Fisika di PONPES ALROSYID
Nomor hp : 08564621501 WA 082225622300 PIN 7D353E84
email : [email protected]
Moto Hidup : Hidup Mulia atau Mati Syahid