Akibat Hukum Perkawinan Siri Bagi Perempuan
Minggu, 25 Oktober 2015 14:00 WIBOleh Drs. H. Sholikhin Jamik, SH.
Oleh Drs. H. Sholikhin Jamik, SH.
SISTEM hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin siri’ dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2. Realitas di masyarakat sekarang ini, praktek perkawinan siri hingga kini masih banyak terjadi. Padahal, perkawinan siri berdampak sangat merugikan bagi perempuan.
Akibat hukum perkawinan siri meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah, tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum.
Dampak bagi istri
Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum, istri siri tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan jika suami meninggal dunia, serta tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan. Karena secara hukum perkawinan siri dianggap tidak pernah terjadi. Semantara secara sosial, istri siri akan sulit bersosialisasi, karena sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan, alias kumpul kebo. Atau dianggap juga sebagai istri simpanan.
Sementara bagi suami?i
Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan. Yang terjadi justru menguntungkan yang laki-laki. Sebabnya, karena suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di siri dianggap tidak sah dimata hukum. Suami juga bisa berkelit dan menghindar dari kewajiban memberi nafkah, baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya. Serta suami juga tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan, dan lain-lain
Bila sudah terjadi?
Bagi yang Beragama Islam, bisa mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/ pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7). Namun Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan penyelesaian perceraian, hilangnya akta nikah, adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974.
Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan di atas yang dapat dipergunakan, kita dapat segera mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan itu. Tetapi untuk perkawinan siri hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian.
Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang.
Jangan lupa, bila telah memiliki Akta Nikah, Anda harus segera mengurus Akta Kelahiran anak-anak Anda ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak anda pun sah di mata hukum. Jika pengurusan Akta Kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, anda terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada pengadilan negeri setempat. Dengan demikian, status anak-anak anda dalam akte kelahirannya bukan lagi anak di luar nikah.
Melakukan Perkawinan Ulang
Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan (KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan Anda. Namun, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan bawah tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar nikah. Karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akta kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin. Sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan.
Bagi yang beragama non-Islam, cukup dengan perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan. Perkawinan ulang dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut.
Penting untuk diingat, bahwa usai perkawinan ulang, perkawinan harus dicatat di muka pejabat yang berwenang. Dalam hal ini di Kantor Catatan Sipil. Jika Kantor Catatan Sipil menolak menerima pencatatan itu, maka dapat digugat di PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara).
Penulis bekerja sebagai Pengadilan Agama Kabupaten Bojonegoro