Novel Burung-Burung Manyar Karya YB Mangunwijaya
Seni Mangunwijaya Membangun Jiwa
Minggu, 01 November 2015 10:00 WIBOleh Shinta Ardinta
Oleh Shinta Ardinta
”Tik, serius. Bagaimana seandainya, ini hanya... hanya seandainya. Bagaimana seandainya Teto tidak berminat padamu, jangan lagi melamar. Kan bertepuk tangan sebelah tidak bisa.”
”Kalau dia tidak melamar, sayalah yang melamar.”
Terkejut Bu Antana mendengar ucapan yang menurut adat tidak semestinya itu. (139 )
Boleh saya tanya sesuatu? Pernahkah anda sebagai perempuan melakukan hal-hal diluar nalar untuk mengapresiasikan rasa suka anda terhadap pasangan? Atau pernahkah anda sebagai seorang lelaki mendapat perlakuan yang begitu berkesan dari perempuan yang pernah atau sedang hidup dalam rotasi hati anda? Jika bagi anda menyukai dan disukai saja sudah cukup, maka mungkin anda perlu banyak belajar dari sosok Atik tentang apa yang namanya seni menyatakan perasaan, menyusun rencana dan menerima konsekuensi atau bagaimanapun caranyalah agar supaya perasaan suka tersebut tidak hanya sampai pada titik stagnan, terpendam, habis, monoton dan membosankan.
Selain Atik, novel ini turut bercerita tentang sosok Teto dan masa lalunya yang acak, dimana teduh berubah gaduh. Ayah yang hilang, ibu yang mati gila, pujaan yang bersebrang pandang dan jabatan yang tinggi namun sekaligus makan hati adalah yang kemudian melahirkan sosok Teto yang penuh dendam, kuat tapi rapuh dan sekaligus mati kutu karena angkuh. Namun Teto punya rasa, satu-satunya alasan yang membuat lelaki ini kemudian memilih untuk bertahan hidup dalam takut. Takut akan nasib dan pengakuan kenyataan yang baginya tak pantas untuk ditukar dengan segala jenis keberuntungan pada sosok Atik, perempuan yang disukainya.
Atik, Atik, Atik dan Atik lagi...Seperti apa memangnya karakter Atik dalam cerita ini? Kalau anda pernah membaca beberapa novel sejenis, maka anda mungkin akan sepaham dengan pendapat saya seperti berikut:
Pencitraan perempuan pada tokoh Atik di novel ini tampak jauh berbeda dengan beberapa novel roman kawakan sejenis semisal sosok Analise dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang terkesan begitu rapuh, Srintil ala Ahmad Tohari dalam Sang Penarinya yang ”berani” namun sekaligus terbelakang, atau sosok Tuti yang teguh saja pun Maria yang anggun saja dalam Layar Terkembang karya S. Takdir Alisyahbana. Burung-Burung Manyar, adalah novel roman karya Mangunwijaya yang dibangun dengan apik dengan menghidupkan sosok Atik yang cerdas dan merupakan perpaduan antara Kartini dengan segala bentuk emansipasinya, Klenting Kuning dalam upaya ”ngunggah-unggahi” (melamar) Ande-ande Lumutnya, sekaligus sosok Amelia pada sebuah lagu yang tergambar begitu lincah dan riang gembira.
”Apa kau kira orang yang dipimpin itu selalu lebih lemah?” Matanya bening dan lebar penuh pertanyaan. Kuteruskan: ”Jana tidak dipimpin. Dialah yang memimpin, Atik. Hanya kau yang tidak tahu. Susahnya kau wanita terlalu pandai. Tetapi terlalu emosi juga.”
”Apa salahnya?”
”Bukan soal salah. Memimpin tidak selalu dengan komando, Tik. Kualitaslah yang memimpin dan kualitas sering menang tanpa kata. Kau mestinya harus tahu itu. (BbM –255)
Dalam percakapan tersebut Mangunwijaya menggambarkan sosok Atik yang keras kepala dengan segala bentuk pandangannya. Untung saja Teto tidak kalah bijak dalam bersikap. Masa lari dari kenyataan dan melepas segala jenis kesusahan yang membebani jiwanya termasuk perasaan sukanya, telah mengajari Teto seni untuk menjaga. Menjaga agar rumah tangga Atik tetap utuh. Menjaga agar semua berjalan sebagaimana mestinya. Menjaga agar ia sendiri mampu mengendalikan perasaannya. Walau akhirnya Mangunwijaya sendiri juga harus membuat Teto untuk pertama kalinya melepaskan segala keangkuhannya dalam sebuah pengakuan:
”Aku bukan orang kuat Atik. Kau pun juga tidak. Kita harus saling menjaga, justru karena kita bukan orang kuat.” (Hal 256 )
Pada akhirnya, sosok Larasati dalam cerita ini memang bertakdir hidup bersama Janakatamsi, lelaki budiman yang begitu pengasih terhadapnya. Sedang Teto sendiri saat bertemu kembali dengan Atik, kala itu telah berstatus duda.. Namun demikian, Atik yang telah berputera tiga seakan tengah mengalami puber kedua jika harus kembali berhadapan empat mata dengan Teto, lupa status dan segala gelar. Bagaimana dengan Teto? Sudah saya jelaskan, Eyang Mangun telah mengatasi mentalnya. Tentu saja Teto ingin namun sekaligus tak ingin dan begitulah Teto, lelaki manyar yang kalah perang walau sebenarnya bisa saja menang. Teto kalah dengan terhormat dan Janakatamsi menang juga dengan sangat terhormat. Hanya saja, Atik... ah, dia berulah lagi:
”Mas Teto, untung ya kita bukan suami-istri.”
”Kau ngomong aneh apa lagi ini?”
”Tidak. Kalau cinta suami-istri itu kan datar-datar saja. Kalau mencintai yang bukan suaminya kok lebih hebat rasanya.”
”Kau doktor biologi hebat, tapi tolol sekali soal perkawinan.”
”Memang, diakui saja.” (hal 259)
Harus disebut apakah perempuan seperti Atik? Bersuami dan tapi masih hidup dalam perasaan suka yang selalu tidak pernah dapat ia sembunyikan? Perasaannya..., salahkah? Saya rasa tidak! Setidaknya untuk cara Atik yang tidak pernah membohongi dirinya sendiri.
Judul : Bubrung-Burung Manyar
Penulis : YB Mangunwijaya
Penerbit: Djambatan
Jumlah Halaman : 319
Shinta Ardinta, penulis adalah alumni IKIP PGRI Bojonegoro. Penulis buku kumpulan Cerpen Rumah Eurika (2015)