News Ticker
  • Jalan Bareng Khofifah-Emil dan Wahono-Nurul Diikuti Ribuan Warga Bojonegoro
  • Jadi Sorotan Publik, Ketua Bawaslu Bojonegoro Diduga Kader Aktif PDIP
  • Peringatan Hari Menanam Pohon di Embung Babo, Desa Sidobandung, Bojonegoro
  • Ayo Generasi Muda Bojonegoro! Ayo Datang dan Ikuti Keseruannya! 'Gebyar Milenial & Gen Z'
  • Kontraktor Sekitar Lapangan Migas Blok Cepu Datangi Gedung DPRD Bojonegoro
  • Masyarakat Sekitar Pengeboran Lapangan Migas Blok Cepu di Bojonegoro Gelar Demo
  • Barisan Muda Bangga Bojonegoro Siap Menangkan Wahono-Nurul di Pikada 2024
  • Berikut Ini Pengurus AMSI Wilayah Jawa Timur Periode 2024-2028
  • Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria Hadiri Pelantikan Pengurus AMSI Jatim 2024-2028
  • Pj Bupati Bojonegoro Adriyanto Harap Pasar Hewan Bisa Jadi Tujuan Wisata Edukasi
  • Wujudkan Kemandiarian Pangan Daerah, Pemkab Bojonegoro Gelar Kontes dan Pameran Ternak
  • Pj Bupati Bojonegoro Adriyanto Hadiri Peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia di Embung Babo
  • Pemkab Bojonegoro Gelar Peringatan Hari Menanam Pohon di Embung Babo, Desa Sidobandung
  • Satlinmas di Bojonegoro Ikuti Simulasi Pengamanan Pilkada Serentak 2024
  • Pertamina Drilling Berdayakan Masyarakat dalam Kawasan Hutan Pertamina UGM Blora-Ngawi
  • Kabupaten Blora Raih Penghargaan Daerah Tertib Ukur dari Kementerian Perdagangan RI
  • Menteri Lingkungan Hidup Lakukan Kunjungan Kerja di Kampung Halamannya di Bojonegoro
  • ‘Kenduri Cinta’ Wahono-Nurul di Bojonegoro Hadirkan Denny Caknan dan Sediakan 10 Ribu Porsi Kuliner Gratis
  • Program ‘Bojonegoro Klunting’, Sesat Pikir Tata Kelola APBD
  • Seminar dan Pelantikan Pengurus AMSI Jawa Timur Dihadiri Wakil Menteri Komdigi
  • Desa Wisata Bangowan, Blora Raih Juara II ADWI 2024 Kategori Desa Wisata Rintisan
  • Berkunjung ke Blora, Presiden RI Ke-7 Joko Widodo Disambut Antusias Warga
  • Kementerian Pariwisata RI Minta Wayang Thengul Blora Terus Dilestarikan
  • Partai Golkar Siap Menangkan Khofifah-Emil di Pilgub Jatim dan Wahono-Nurul di Pilbup Bojonegoro
Tentang Bagaimana Binatang Mengajari Manusia Hidup

The Fang of the Fire Tiger, Karya Mala Khamchan

Tentang Bagaimana Binatang Mengajari Manusia Hidup

Oleh Ashri Kacung

[Identitas Buku : Judul The Fang of the Fire Tiger Penulis Mala Khamchan Penerjemah Patsita Charoenrakhiran; Pattiya Jimreivat Editor Peter Hall  Penerbit Office of Contemporary Art and Culture, Ministry of Culture, 2011 Halaman 184 Bahasa  Inggris]

ADA beberapa kemungkinan yang Anda dapatkan ketika selesai membaca sebuah novel. Selain bisa mengambil sudut yang paling disukai, Anda juga bisa melupakan mana yang sekiranya Anda benci. Artinya, Anda bisa mencuplik tema yang sesuai dan Anda inginkan untuk dilihat dengan seksama, sebagaimana Anda melakukan zoom in pada gambar yang Anda ingin lihat secara detail. Namun Anda juga bisa mengabaikan hal-hal yang tidak membuat hati tergerak. Betapapun, tentu saja cerita yang baik akan memiliki banyak sisi menarik yang bisa Anda perbesar/zoom in dengan segala lapisan pemahaman, pemikiran, yang membalut Anda sebelumnya.

Bukankah hampir selalu ada alasan subjektif untuk selalu memilih cerita apa yang akan kita baca? Saya katakan hampir selalu karena manusia ujung-ujungnya selalu berurusan dengan diri sendiri, tanpa menafikan bahwa ia juga makhluk sosial. Seperti ketika saya memilih untuk membaca dan menyelesaikan novel karya penulis Thailand ini.

Sampai detik ini, saya hanya memiliki empat novel penulis Thailand dalam bahasa Inggris, karena belum memungkinkan membaca dalam bahasa Thai. Ini adalah novel ke empat yang saya dapatkan, namun jadi kedua yang bisa saya selesaikan. Pertama sudah saya ulas sebelumnya, yakni The Moonlit Shore karangan Prachakom Luncahai tentang seluk beluk kemiskinan nelayan.

Kenapa saya bisa menyelesaikan buku ini, tak lain karena bagi saya ceritanya menarik. Yakni tentang pergulatan dan pergumulan hidup keluarga miskin di daerah Thailand utara, tepatnya di Desa Hui Sang Kham, Provinsi Chiang Mai, yang berbatasan dengan Burma. Entah kenapa saya selalu tertarik untuk mencari tahu tentang cerita-cerita yang miris dari orang-orang yang tersisih, miskin, gelap, hidup di desa dengan segala problematika yang mereka hadapi. Atau memang kemiskinan masih merupakan isu yang seksi –minimal menurut saya- untuk terus menerus diceritakan? Alasan berikutnya tak lain mungkin karena saya sedang melakukan studi di negeri gajah putih ini, maka membuat saya merasa tertarik untuk melihat lebih jauh kebudayaan masyarakatnya melalui sastra.

Novel ini bercerita tentang satu keluarga miskin di desa Hui Sang Kham, dekat hutan di wilayah perbatasan Chiang Mai dan Burma. Anak perempuan keluarga itu begitu bangga menemukan taring macan api. Taring yang dipercaya oleh seluruh penduduk bisa menangkal bahaya apapun. Orang yang memiliki taring itu dianggap bisa melawan siapapun dan tak terkalahkan. Kalau ia seorang pemburu, maka ia akan jadi pemburu yang hebat tak tertandingi.

Taring api itu ia temukan ketika dua bersaudara sedang memburu Thang, seekor macan tua yang akhir-akhir itu meresahkan penduduk desa karena sering mencuri hewan peliharaan mereka. Anak perempuan itu ikut serta.

Suatu sore, ketika hutan mulai gelap dan hujan akan turun, dua orang saudara dan anak perempuan itu berlindung di sebuah goa. Tak dinyana, ketika sampai pada mulut goa, si anak perempuan merasa aneh karena di sana terdapat tulang macan api. Dua bersaudara itu mendekati goa. Mereka merapal mantra dan doa penghormatan pada sang macan api. Tiba tiba goa longsor dan menghantam tubuh mereka. Salah satu orang tak bisa bertahan dan terpelanting hingga membuat tulang kakinya retak dan sulit berjalan.

Selepas longsor usai, anak perempuan itu kembali ke dekat gua dan menemukan gigi taring  sang macan api, benda yang sangat jarang bisa ditemukan bahkan dalam kurun waktu 100 atau 1000 tahun sekalipun. Benda yang begitu keramat bagi orang-orang yang hidup di sekitar hutan.

Nama anak perempuan itu Kaewhuean. Usianya baru 13 tahun ketika menemukan taring sang macan api itu. Dua bersaudara adalah ayahnya, Thunna, dan sang paman, Mangkhala.

Dalam bacaan saya, novel ini melukiskan kecemasan seorang ibu menghadapi problematika keluarganya dengan balutan kemiskinan di suatu daerah tepi hutan perbatasan Thailand Utara dengan Burma.

Kecemasan pertama datang dari anak perempuannya, Keawhuean, yang ikut ayah dan pamannya berburu ke hutan lalu menemukan gigi taring itu. Yang Keawhuen dapati bukanlah sembarang taring, melainkan taring seekor macan api, hewan penguasa rimba raya, makhluk yang paling ditakuti oleh semua hewan, bahkan juga oleh roh-roh penguasa hutan. Karenanya, taring itu menjadi sangat istimewa hingga layaknya jimat. Ia dipercaya bisa menaklukan segala jenis serangan hewan dan juga roh jahat penguasa hutan. Semua penduduk desa mafhum bahwa taring itu sangat berharga dan teramat sulit mendapatkannya meskipun dalam kurun waktu seratus atau seribu tahun sekalipun. Dianugerahi penemuan taring, si anak perempuan menjadi begitu pemberani dan menetapkan cita-citanya sebagai pemburu, sebagaimana sang ayah dan kakeknya, juga buyut dan pendahulu-pendahulunya.

Namun Keawhuen adalah perempuan, yang tentu bertentangan dengan tradisi masyarakat hutan, bahwa pemburu hanyalah lelaki. Jikapun ada pemburu perempuan, maka nasibnya tak akan lebih baik, sebagaimana akhir riwayat Sangkhaem, pemburu perempuan yang mati diterkam harimau. “the fang may be good thing, but your father’s leg is better. If i could, i would trade it with your father’s leg. With the leg you can plow a paddy field and hunt in the forest. The fang might be precious like the great black germ of indra, but i don’t want it.” Hal. 15

(Terj:Taring itu memang barang berharga, tapi kaki ayahmu tentu lebih baik. Jika mampu, saya akan menukarnya dengan kaki ayahmu. Dengan kaki kau bisa membajak sawah dan berburu di hutan. Taring mungkin berharga seperti kuman hitam sebuah indra, tetapi saya tidak butuh itu-ed)

Kecemasan kedua adalah pada nasib Thunna, suaminya (ayah Kaewhuean). Lelaki itu diharapakan dengan tenaganya bisa bekerja di ladang dengan baik. Celakanya, Thunna, yang secara harfiah berarti manusia batu, tulang kakinya retak saat longsor goa saat perburuan itu.

Thunna bersikeras bahwa ia akan sembuh sebagaimana sediakala, dan hanya membutuhkan waktu 150 hari. Ia pernah jatuh dari gajah ketika bekerja di tengah hutan Burma yang menyebabkan tulang punggungnya patah, namun ajaibnya ia bisa sembuh. Meskipun tak bisa maksimal bekerja di lading, karena kondisi kakinya yang tak memungkinkan, ia masih bisa sedikit demi sedikit merawat peternakan babi. Juga ketika panen padi tiba, ia membantu sebisanya. Sebagai ayah, ia juga menepis kecemasan istrinya bahwa Keawhuaen akan menjadi perempuan tak tahu diri, melabrak adat masyarakat dan dungu. Ia percaya anak perempuannnya akan tumbuh sebagaimana anak perempuan lain. “since we brougt the fang into our house, all kind of misfortunes has hapenned to us. You lost your leg, the tiger sneaked into our house, Kaewhuean’s got bolder, Khamkhong fell into buffalo hole, and the spirits there possessess him and wanted to take him. It’s all because the fang.” Hal. 61

(Terj : Sejak membawa pulang taring itu, kesialan terus terjadi pada kita. Kau kehilangan kaki, macan menyelinap ke rumah kita, Kaewhuean lebih berani, Khamkhong jatuh ke dalam lubang kerbau, dan roh-roh jahat ingin membawanya. Ini semua karena taring itu-ed)

Kecemasan ketiga, ini terkait dengan hubungan keluarga ini dengan Khamlaeng, sang tuan tanah desa. Buachan teramat cemas ketika nanti keluarganya gagal panen, maka Khamlaeng akan memberikan hak garap ladang itu pada orang lain, meskipun keluarga ini harus menyetor separo hasil panen itu kepadanya. Di lain pihak, Buachan dan keluarga juga punya utang materiil ketika Khamlaeng menolong dan memberikan suntikan obat pada anaknya ketika terserang penyakit kuning. Juga ketika Buachan bermasalah saat melahirkan anak terakhir, Khamlaeng harus mengantarnya ke rumah sakit di Chiang Mai dan membayar seluruh biaya perawatan. Dengan semua keadaan itu, tentu saja Buachan teramat ketakutan. Sebagai konsekuensi, ia selalu menasehati anak lelakinya Khamkong untuk mengalah ketika menghadapi Somsak, anak lelaki Khamlaeng yang sering bikin perkara.

Ketika menyelesaikan novel ini, yang saya resapi antara lain adalah betapa orang miskin selalu kalah dan dikalahkan oleh tuan tanah. Dari tuan tanah inilah mereka menggantungkan hidup dengan menggarap lahan, sesekali meminta bantuan, dan juga hutang. Tentu saja hal sangat menakutkan bagi keluarga miskin ketika mereka berkonflik dengan sang tuan tanah, yang pada akhirnya akan berujung pada pengambilan hak garap tanah untuk diberikan kepada petani miskin lain, mengungkit-ungkit biaya yang si kaya sudah keluarkan. Begitu juga yang dirasakan oleh Buachan, ibu rumah tangga yang mengasuh tiga anak Kaewhuean, Khamkaew, Khamkhong. Sang suami, Thunna, baru saja mendapatkan musibah ketika berada di hutan, terpelesat menghindari longsor yang menyebabkan kakinya tak bisa berjalan dengan normal. Praktis keluarga ini tak bisa menggarap sawah dengan maksimal, yang tentu saja akan dianggap merugikan sang pemilik lahan. Padahal mereka juga harus menyetorkan separo hasil panen.

Namun apa yang menarik adalah ketika sang paman Mangkhala mengajari keponakan-keponakannya itu sambil berburu di hutan tentang esensi hidup seekor macan api. Mangkhala bercerita, “The heart of the fire tiger is a powerful heart. Fire tiger’s magical power is rigorous. It can overpower all the animals ... true fire tigers have got gentle and generous heart, so they can live happily with other animals.” Hal. 111. 

(Terj: Macan api memiliki hati yang luar biasa. Kekuatan magisnya begitu tegas. Itu yang bisa menundukkan semua binatang... macan api sejati itu gentel dan murah hati, sehingga mereka dapat hidup damai bersama binatang lainnya -ed)

Sejak itulah mereka berdua merenungi kebiasaan, kecongkakan, dan kegilaan masa kanak-kanak. Mereka sadar harus memiliki hati yang baik kepada semua mahkluk jika ingin hidup tenteram dan nyaman bersama yang lain. Kaewhuean mulai menyadari ia adalah anak gadis yang mesti bisa memasak dan bersih-bersih rumah. Khamkhong mulai merasakan bahwa ia anak lelaki yang punya harga diri dan martabat dan tak bisa direndahkan oleh siapapun. Meskipun itu anak tuan tanah.

Novel ini juga mengingatkan saya tentang karya Luis Sepulveda (Penulis Chile), Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta. Ada tiga kemiripan cerita pada keduanya. Pertama, cerita utama mengangkat tentang kemiskinan. Kedua, sama-sama bercerita tentang alam. Khususnya hutan yang mulai berkurang jumlahnya karena dijarah oleh kerakusan manusia. Ketiga, dan ini yang paling mendebarkan, adalah ketika kedua novel ini menceritakan tokoh utamanya berhadap-hadapan dengan binatang buas dan hanya menyisakan satu kalimat; to kill or to be killed. Meskipun, pada akhirnya, manusialah yang unggul, kemenangan atas binatang buas bagi mereka harus diikuti dengan tangis, sesal, haru dan kesedihan. Karena itu adalah penghormatan yang teramat layak bagi binatang yang seharusnya tak perlu bermusuhan dengan manusia jika alam mereka terpelihara.

 

Penulis adalah kerani di Komunitas LESUNG (Literary of Submarging Culture). Sekarang sedang study S2 di Thailand

 

Ilustrasi : thompsonart.net

 

 

 

 

Banner Pasangan Calon (Paslon) Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 022
Berita Terkait

Videotorial

Peringatan Hari Menanam Pohon di Embung Babo, Desa Sidobandung, Bojonegoro

Berita Video

Peringatan Hari Menanam Pohon di Embung Babo, Desa Sidobandung, Bojonegoro

Bojonegoro - Dalam rangka peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI), Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten ...

Berita Video

Video: 20 Pelaku Judi Online di Bojonegoro Ditangkap Polisi

Berita Video

Video: 20 Pelaku Judi Online di Bojonegoro Ditangkap Polisi

Bojonegoro - Kepolisian Resor (Polres) Bojonegoro, mengamankan 20 orang yang disangka melakukan tindak pidana perjudian. Para pelaku ditangkap petugas karena ...

Teras

Memasukkan Pendidikan Mitigasi Bencana dalam Kurikulum Sekolah di Bojonegoro

Menyoroti Konsep Penanggulangan Bencana di Bojonegoro

Memasukkan Pendidikan Mitigasi Bencana dalam Kurikulum Sekolah di Bojonegoro

"Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. ...

Opini

Program ‘Bojonegoro Klunting’, Sesat Pikir Tata Kelola APBD

Opini

Program ‘Bojonegoro Klunting’, Sesat Pikir Tata Kelola APBD

Bojonegoro - Jika hari ini ada beberapa kelompok menggiring opini bahwa dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Bojonegoro ...

Quote

Bagaimana Ucapan Idulfitri yang Benar Sesuai Sunah Rasulullah

Bagaimana Ucapan Idulfitri yang Benar Sesuai Sunah Rasulullah

Saat datangnya Hari Raya Idulfitri, sering kita liha atau dengar ucapan: "Mohon Maaf Lahir dan Batin, seolah-olah saat IdulfFitri hanya ...

Sosok

Pratikno, di Mata Mantan Bupati Bojonegoro, Kang Yoto

Sosok

Pratikno, di Mata Mantan Bupati Bojonegoro, Kang Yoto

Bojonegoro - Salah satu putra terbaik asal Bojonegoro, Prof Dr Pratikno MSoc Sc, pada Minggu malam (20/10/2024) kembali dipilih menjadi ...

Infotorial

Adira Finance Rayakan Hari Pelanggan Nasional Melalui "Adira Menyapa Sahabat"

Adira Finance Rayakan Hari Pelanggan Nasional Melalui "Adira Menyapa Sahabat"

Bojonegoro - Menyambut momentum Hari Pelanggan Nasional (HARPELNAS) 2024, PT Adira Dinamika Multi Finance, Tbk. (Adira Finance) Cabang Bojonegoro menyelenggarakan ...

Berita Foto

Warga Bojonegoro yang Dilaporkan Tenggelam di Bengawan Solo Ditemukan Meninggal

Berita Video

Warga Bojonegoro yang Dilaporkan Tenggelam di Bengawan Solo Ditemukan Meninggal

Seorang warga Dusun Gowok, Desa Lebaksari, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro bernama Solikin (55), pada Rabu petang (03/01/2024) dilaporkan tenggelam di ...

Religi

Pakaian Ihram saat Haji dan Umrah, antara Syariat dan Hakikat

Pakaian Ihram saat Haji dan Umrah, antara Syariat dan Hakikat

Judul itu menjadi tema pembekalan sekaligus pengajian Rabu pagi (24/01/2024) di Masjid Nabawi al Munawaroh, Madinah, kepada jemaah umrah dari ...

Hiburan

‘Layangan Dokar’ Raih Jaura Lomba Layan-layang Hias Blora 2024

‘Layangan Dokar’ Raih Jaura Lomba Layan-layang Hias Blora 2024

Blora - Lomba layang-layang hias Bupati Blora Cup 2024, yang digelar Blora Sosial Media (Blosmed) bersama Pemerintah Kelurahan Mlangsen, Kecamatan ...

1732325873.507 at start, 1732325873.6765 at end, 0.16947793960571 sec elapsed