Manusia Indonesia, Sebuah Pertanggung Jawaban Karya Mochtar Lubis
Manusia Indonesia Kok Buruk-Buruk Ya?
Minggu, 28 Februari 2016 08:00 WIBOleh Mulyanto
Oleh Mulyanto
Bisakah ditentukan secara pasti siapa dan bagaimanakah manusia Indonesia itu? Sulit memang menggenaralisir manusia Indonesia. Tapi ada satu buku yang secara khusus membuat pemetaan tentang manusia Indonesia. Yaitu buku Manusia Indonesis, Sebuah Pertanggungjawaban karangan almarhum Mochtar Lubis.
Saya membuat catatannya di sini dengan bukan bermaksud membenarkan atau meyakini bahwa kedua belas ciri manusia Indonesia menurut wartawan dan sastrawan kondang itu benar sepenuhnya. Bukan. Bukan begitu. Melainkan sekadar menegaskan bahwa ternyata ada juga usaha untuk memetakan bagaimana manusia Indonesia itu. Dan paling tidak, apa yang sudah dilakukan oleh Mochtar Lubis hingga kini masih jarang dilakukan orang atau penulis lain, untuk tidak mengatakannya satu-satunya. Coba saja ketik kata manusia indonesia di kotak pencarian browser Anda, tentang buku Mochtar Lubis inilah yang keluar di urutan paling atas hingga beberapa deret ke bawah.
Dalam buku Manusia Indonesia ini, yang menggelikan, manusia Indonesia dicitrakan secara buruk oleh Mochtar Lubis. Ada 12 keburukan yang dirangkum di buku ini. Apa saja itu?
Pertama, hipokrit alias munafik. Yakni, berpura-pura. Atau lain di muka – lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia. Sifat ini muncul karena sejak lama manusia Indonesia mengalami penindasan sehingga dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya ataupun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.
Kedua, segan dan enggan bertanggung jawab. Atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya.
“Bukan saya", adalah kalimat yang cukup populer di mulut manusia Indonesia. Atasan menggeser tanggung jawab tentang suatu kegagalan pada bawahannya, dan bawahannya menggesernya ke yang lebih bawah lagi, dan demikian seterusnya. Akan tetapi jika merupakan suatu keberhasilan, maka mereka paling depan mengatakan, itu karena saya. .
Ketiga, berjiwa feodal. Mereka yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan harus dihormati oleh yang dikuasai, yang kecil dan tanpa kekuasaan harus mengabdi kepada yang besar. Segala sesuatu yang berhubungan dengan yang berkuasa, juga harus dihormati oleh mereka yang di bawahnya, isteri bawahan harus menghormat isteri atasan, anak bawahan harus menomersatukan anak atasan, dan seterusnya.
Kelima, masih percaya takhyul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuataan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua. Kepercayaan serupa ini membawa manusia Indonesia jadi tukang bikin lambang. Kita percaya pada jimat dan jampe. Untuk mengusir hantu kita memasang sajen dan bunga di empat sudut halaman, dan untuk menghindarkan naas atau mengelakkan bala, kita membuat tujuh macam kembang di tengah simpang empat. Kita mengarang mantera. Dengan jimat dan mantera kita merasa yakin telah berbuat yang tegas untuk menjamin keselamatan dan kebahagiaan atau kesehatan kita.
***
Mungkin hanya lima itu yang saya ulas sedikit. Seterusnya adalah artistik, watak yang lemah, tidak hemat atau bukan “economic animal”, manusia indonesia tukang menggerutu, cepat cemburu dan dengki, manusia indonesia juga dapat dikatakan manusia sok, dan terakhir manusia indonesia juga manusia tukang tiru atau plagiat.
Bacalah sendiri bukunya bila ingin lebih detail. Tapi pada intinya, saran saya,tidak perlu percaya sepenuhnya dan ditelen mentah-mentah. Sepanjang pembacaan, saya merasakan kedua belas keburukan manusia Indonesia itu bukan lantas mencitrakan bahwa manusia Indonesia sepenuhnya buruk. Tapi lebih kepada kritik yang bernada satir. Membacanya sendiri, dengan gaya bahaya Mochtar Lubis, bisa dirasakan bahwa buku ini seperti dibuat dengan semangat humor yang tinggi. Maka ya baca saja sendiri dan berdoalah semoga kita bukan termasuk satu atau kesemua keburukan yang dua belas itu. Toh buku itu ditulis sudah puluhan tahun yang lalu. Tentu saja sekarang berbeda. Manusia Indonesia sudah baik-baik sekarang. Bukankah begitu?
Peresensi adalah jurnalis beritabojonegoro.com