Antara Rasa Syukur dan Warisan Leluhur
Selasa, 25 Agustus 2015 08:00 WIBOleh Anna Mujahidah Mumtazah *)
*Oleh Anna Mujahidah Mumtazah
Bulan Agustus identik dengan bulan kemerdekaan. Kibaran bendera memenuhi kanan kiri ruas jalan. Tak hanya perkotaan, pedesaan pun tak ingin kalah saingan. Suka cita yang menyelimuti hati setelah berabad-abad terjajah di negeri sendiri. Keringat dan fisik diperas untuk mengolah tanah sendiri yang kemudian disetor kepada para imperialis. Kaum pribumi pun tinggal gigit jari. Kerja rodi yang terjadi pada masa Belanda maupun sistem tanam paksa (rhomusa) yang diberlakukan oleh Jepang menyisakan sesak di dada.
Kaum imperialis berselancar ke negeri ini menyeberangi lautan dan melewati pulau dengan misi tiga G (Gold, Gospel, Glory). Gold yang memiliki arti emas, dalam arti mereka ingin menguasai kekayaan negeri. Indonesia kaya rempah-rempah menjadikan kaum imperialis tergiur. Dengan Gospel mereka menyebarkan ajaran agama mereka dan misi Glory mereka menginginkan kejayaan. Tak ada satu bangsa pun dimanan pun dan kapan pun menginginkan tunduk di ketiak para imperialis. Begitu juga Indonesia, karena penjajahan bertentangan dengan fitrah manusia. Penjajahan berabad-abad itu menjadikan para pahlawan terhentak nalurinya untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan.
Merdeka, satu kata yang terngiang di hati dan telinga mereka (para pahlawan). Dalam KBBI merdeka mempunyai arti bebas (dari perhambaan, penjajahan), berdiri sendiri, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa. Merdeka adalah impian semua rakyat karena beraba-abad dalam kesengsaraan akibat penjajahan fisik, bahkan lebih dari tujuh turunan tak mengenyam kesejahteraan. Dalam pembukaan UUD 45 "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Penjajahan haram terjadi di bumi pertiwi ini. Sehingga mimpi menjadi negeri yang merdeka harus disegerakan tanpa harus ditunda.
Dalam alinea ketiga pembukaan UUD 45 "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya." Bahwasanya kemerdekaan Indonesia dari penjajahan fisik kala itu adalah nikmat dari Allah. La haula wala quwwata illa billah (tiada daya dan tiada kekuatan melainkan dengan izin Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung). Manusia dengan segala kelemahan tidak ada satu kekuatan pun melainkan kekuatan dari-Nya. Dengan penuh semangat dan pantang menyerah didorong oleh keimanan yang tertambat dalam hati, para pahlawan rela mengorbankan apa yang dimiliki. Tak cukup harta, keringat, namun juga nyawa satu-satunya rela mereka korbankan. Karena dalam Islam penjajahan adalah sebuah keharaman.
Tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia tercinta menyuarakan merdeka. Terbebas dari belenggu penjajah secara fisik. Sebuah kebahagiaan yang tiada tara menyelimuti hati kaum pribumi. Kekayaan alam yang mereka tanam tak lagi di setor kepada kaum imperialis, namun masuk ke kantong sendiri. Sebuah kenikmatan yang sangat luar biasa. Kesyukuran menyelimuti hati, action pun menjadi bagian dari solusi.
Rasa syukur itu senantiasa ada dan menjadi habit anak cucu negeri. Setiap mendekati tanggal 17 Agustus perayaan kemerdekaan mewarnai negeri. Sejak dahulu hingga kini. Dimulai dari karnaval hingga ajang lomba tak mau ketinggalan. Diantaranya lomba makan kerupuk, memasukkan paku ke dalam botol, membawa tampah (istilah Jawa) di atas kepala sambil berjalan, membawa kelereng di atas sendok dengan menggigitnya, panjat pinang, balap karung dan lainnya. Aneka ajang lomba wujud adanya kebersamaan. Bersama dalam kebahagiaan terbebas dari belenggu kaum imperialis.
Standar kehidupan adalah aturan sang Pencipta Allah SWT. Bersyukur sebuah keharusan. Bersyukur tidak hanya dalam hati maupun lisan. Akan tetapi, juga dalam perbuatan. Karnaval, sebuah ajang simulasi mengenang masa perjuangan menuju kemerdekaan. Mulai dari kehidupan para petani, nelayan, hingga kerajaan. Namun sungguh disayangkan tak sedikit kita jumpai kaum Adam bersolek layaknnya kaum Hawa. Adegan yang dilakukan layaknya kaum Hawa (hamil, berpakaian wanita). Sementara Islam melarang menyerupai lawan jenis, sebagaimana pesan Rasulullah dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah melaknat orang lelaki yang menyerupai wanita dan (melaknat) para wanita yang menyerupai lelaki.” (HR. Bukhari juz 7, hal. 55).
Selain itu, banyak kita jumpai kaum Hawa berlenggak-lenggok dengan pakaian minim yang menampakkan auratnya. Sementara dalam Islam, saat muslimah sudah melewati masa baligh wajib baginya menutup aurat. Tak hanya saat menjalankan ibadah salat, namun juga saat keluar dari rumah haram baginya memperlihatkan auratnya kepada yang bukan mahram. Islam juga memandang bahwa tabarruj (bersolek berlebihan) juga terlarang. Rasul berpesan "Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya. Yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti seekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian." [HR. Imam Muslim]
Sebagai kaum muslim tak layak jika cara bersyukur kita justru melakukan perbuatan yang terlarang oleh sang Pencipta dan sang Pengatur kehidupan. Bersyukur dengan cara yang tepat. Bukan sekedar mengikuti para pendahulu (leluhur). Karena kebenaran bukan berasal dari moyang (leluhur). Akan tetapi dari Rabb semesta alam. Firman Allah dalam Surat Al Baqarah 147 “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” Bukan pula merayakan secara berlebihan hingga kemewahan. Kemerdekaan adalah rahmat dari Allah, haruskah dirayakan dengan melanggar aturannya? Sementara hari akhir dan penghisaban adalah sebuah kepastian. Allahu A’lam.
*Penulis alumni Pendidikan Kimia Unesa
Foto ilustrasi net