Sang Penggagas
Selasa, 01 September 2015 11:00 WIBOleh Didik Wahyudi *)
*Oleh Didik Wahyudi
Sekira empat - lima tahun lalu lelaki berperawakan gempal ini menyampaikan gagasan yang cerdas soal kesenian kerakyatan dan dolanan rakyat. Gagasan itu disampaikan di sebuah warung kopi, dan saya mendengarkan dengan serius. Lelaki yang sekarang berprofesi menjadi guru kesenian ini menyampaikan pentingnya mengemas kesenian tradisi serta dolanan rakyat yang terserak. Semua kesenian dan dolanan tersebut diidentifikasi baik yang masih bertahan maupun yang sudah punah, lalu ditampilkan kembali dalam sebuah festival dan bersanding dengan kesenian kontemporer maupun jenis kesenian lainnya.
Uniknya, kesenian tradisi dan dolanan yang diidentifikasi itu adalah milik masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo dari hulu sampai hilir. Perlu diketahui sungai purba ini melewati ratusan desa, puluhan kecamatan dari puluhan kabupaten di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebuah kawasan yang dikenal memiliki kehidupan yang panjang sejak zaman purba, pra sejarah hingga zaman sejarah tentu menyimpan kesenian tradisi dan dolanan yang berlimpah. Sebuah potensi yang sulit dibayangkan seberapa banyaknya dan besarnya jikalau dikumpulkan lalu ditampilkan.
Tentu tidak mudah mengidentifikasi, mengumpulkan dan menampilkan kembali dalam sebuah festival. Sebuah pekerjaan kebudayaan yang sangat merepotkan sekaligus bermanfaat untuk semua, untuk semua generasi agar lebih mengenal kembali tradisi yang dimiliki yang mungkin sudah terlupakan. Agar pekerjaan kebudayaan ini bisa mewujud dibutuhkan kerja sama dengan semua pihak. Kerja sama pelaku kesenian tradisi, para pelestari dolanan dan para budayawan dari kabupaten lain yang dilalui sungai terpanjang di Jawa ini, jika perlu pemerintah kabupaten terkait juga turun tangan.
Lelaki yang baru saja meraih penghargaan sutradara terbaik sekaligus penampilan teater terbaik tingkat nasional ini menyebut bahwa potensi kesenian tradisional sepanjang bantaran Sungai Bengawan Solo perlu dijaga serta dilestarikan sekaligus sebagai simbol kampanye penyelamatan lingkungan, terutama menjaga Sungai Bengawan Solo yang kini bantarannya beranjak mengalami kerusakan. Jika kerusakan atau perusakan tak distop sekarang kapan lagi, jika tak diperbaiki sekarang lalu apakah masih menunggu lagi banjir besar meluluhlantakkan segalanya. Tentu tidak, dengan kerja budaya semacam itu harapan penyelamatan lingkungan bisa dilakukan, atau mungkin masuk agenda kerja budaya.
Gagasan seniman multi talenta yang pernah bekerja sama dengan saya membuat film puisi yang telah diputar di tiga kota berbeda, juga menyebut bahwa gagasan tersebut pernah disampaikan ke beberapa pihak mulai dari seniman sukses asal Bojonegoro, pak Bupati Bojonegoro serta teman-teman pegiat kesenian. Rata-rata responnya bagus serta mendukung buktinya gagasan tersebut pernah mewujud dalam bentuk lain tapi belum sesuai harapan. Pernah digelar dalam bentuk pembacaan puisi saja di halaman kantor Disparbud, pernah juga digelar festival Bengawan Solo di Desa Ringinrejo Kecamatan Kalitidu yang masih menyisakan persoalan. Dan agak janggal memang saat acara tersebut digelar tidak melibatkan sang penggagas awal. Tapi penggagas konsep kerja kebudayaan tersebut menerimanya dengan legowo dan besar hati, sebab gagasannya telah diwujudkan oleh pihak lain meski mungkin jauh dari harapan. Tidak mengapa.
Kini konsep kerja kebudayaan tersebut sudah melibatkan sang penggagas awal meski saya tidak tahu bagaimana prosesnya, tapi ini adalah langkah yang tepat. Langkah yang baik untuk menghargai buah pemikiran seseorang, tidak asal copy paste lalu melupakan penggagasnya. Dalam proses kerja budaya ini sang penggagas juga sudah menyumbangkan pikirannya dengan membuat logo acara dengan simbol perahu dan kibaran bendera merah putih, dan logo tersebut sebagai logo resmi acara nanti tanggal 17 dan 20 September 2015. Tapi dalam proses selanjutnya sang penggagas tidak bisa turun tangan sebab ada masalah kesehatan yang harus dihadapi dan diselesaikan di meja operasi.
Mungkin Tuhan sedang bercanda dengan merencanakan sesuatu yang lebih indah lagi hingga sang penggagas harus masuk rumah sakit kembali, setelah mengalami kecelakaan setahun lalu. Lutut kiri sang penggagas bengkak dan harus naik ke meja operasi untuk membenahi lutut yang telah bergeser akibat terpeleset yang tidak dirasakan. Sudah seminggu ini Agus Sigro Budiono menunggu naik ke meja operasi di rumah sakit sebab jadwalnya molor, bahkan sebenarnya sudah mengantre sejak dua bulan lalu. Dengan kesabaran penuh Agus harus tetap menunggu sampai benar-benar dioperasi meski ditunggu kesembuhannya oleh kawan-kawan pekerja kebudayaan. Meski sudah ada yang memback-up serta membantu perannya tetap saja gagasan dan tenaganya dibutuhkan.
Saat saya sedang menulis ini, Agus masih menunggu operasi, kabarnya hari Rabu tanggal 3 September 2015 baru menjalani operasi. Semoga cepat sembuh kawan dan kembali bergabung bersama tim, ini adalah langkah awal sebagai latihan untuk mewujudkan impian lama mengumpulkan kesenian tradisi dan dolanan yang berserak sepanjang Bengawan Solo. Sebuah mimpi dan kerja besar yang akan melibatkan banyak orang tentunya. Salam