Resensi buku
Lingkar Tanah Lingkar Air, Ahmad Tohari
Rabu, 02 September 2015 07:00 WIBOleh Muhammad Roqib *)
*Oleh Muhammad Roqib
Jarang ada penulis novel seperti Ahmad Tohari. Ia lebih suka memilih tinggal di desa di Banyumas ketimbang tinggal di kota seperti Jakarta. Padahal, ia boleh dibilang cukup terkenal dengan karya-karyanya yang gemilang. Dia tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya yang mewarnai seluruh karya sastranya. Misalnya, salah satu karyanya yang cukup terkenal yaitu Ronggeng Dukuh Paruk (1982) yang telah difilmkan dengan judul Sang Penari. Karya lainnya yang cukup terkenal Di Kaki Bukit Cibalak (1986), Senyum Karyamin (1989), Bekisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1992), Orang-Orang Proyek (2002), Kubah (2005).
Hampir semua karya sastra Ahmad Tohari mengambil seting pedesaan. Yang paling kental suasana pedesaannya yaitu Ronggeng Dukuh Paruk. Ia juga lebih senang bercerita tentang orang-orang kecil seperti dalam novelnya berjudul Senyum Karyamin. Tetapi, Ahmad Tohari juga suka menulis karya novel berlatar belakang pergolakan politik seperti dalam buku novelnya berjudul Lingkar Tanah Lingkar Air. Ronggeng Dukuh Paruk juga mengambil latar belakang cerita pergolakan politik di tahun 1960-an.
Baiklah, dari sekian karyanya yang semuanya menurut saya menarik itu, saya akan mengulas sedikit bukunya berjudul Lingkar Tanah Lingkar Air. Buku ini terbilang tipis cuma setebal 165 halaman. Bandingkan misalnya dengan bukunya yang lain Ronggeng Dukuh Paruk yang setebal 404 halaman.
Novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini bercerita tentang perjuangan dan pergolakan politik tahun 1946. Ketika pemerintahan Republik Indonesia di bawah Soekarno-Hatta sedang membangun sistem politik. Setelah Belanda dan Jepang berhasil diusir, banyak pejuang kemerdekaan yang sebelumnya punya satu musuh bersama yaitu penjajah, kemudian kembali terpecah menjadi kelompok-kelompok. Saat itu, ikatan nasionalisme belum terbangun secara kokoh, namun baru sebatas semangat mengusir penjajah dari Nusantara.
Tokoh dalam cerita novel itu adalah Amid, Kiram, Kang Suyud, Jun, Kiai Ngumar dan Umi. Amid, Kiram, dan Jun merupakan santri yang mengaji pada Kiai Ngumar. Sementara, Kang Suyud juga seorang kiai namun masih muda. Kiai Ngumar disebut salah satu tokoh Sarekat Islam (SI) yang kemudian pecah jadi SI merah dan SI Putih. Kiai Ngumar ikut SI Putih.
Dengan restu Kiai Ngumar, Amid, Kiram, dan Jun ikut berperang mengusir penjajah Belanda. Namun, mereka tergabung dalam kelompok yang disebut Hisbullah. Kang Suyud juga ada di kelompok ini. Kelompok ini disamakan oleh satu keyakinan perjuangan yaitu mengusir penjajah dan menegakkan Islam.
Namun, setelah Belanda mengakui kedaulatan RI, kelompok yang getol mengusir penjajah ini pun tidak lagi berperang. Pemerintah RI saat itu mengajak kelompok-kelompok pejuang itu agar masuk tentara Republik. Namun, perseteruan di dalam tentara Republik ini membuat Kang Suyud enggan masuk tentara Republik. Ia lebih memilih tetap bertahan di kelompok Hisbullah. Ia mengajak Amid, Kiram, dan Jun tidak usah bergabung dengan tentara Republik.
Pandangan Kang Suyud semakin ekstrem dan berseberangan dengan Kiai Ngumar. Padahal, Kiai Ngumar menginginkan setelah perang usai, Amid dan kawan-kawannya bergabung dengan tentara Republik.
Kang Suyud mendengar kabar kalau kelompok pejuang di bawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo mendeklarasikan negara Islam dengan sebutan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Amid yang semula ingin bergabung dengan tentara Republik, malah dengan berat hati bergabung dengan tentara Darul Islam.
Pada mulanya pasukan Darul Islam cukup banyak menguasai wilayah Gunung Slamet dan sekitarnya. Namun, pertempuran demi pertempuran dengan tentara Republik membuat pasukan Darul Islam semakin lemah. Jumlahnya semakin berkurang dan terpaksa sembunyi di hutan dan pegunungan. Amid, Kiram, dan Jun bertahan di tempat persembunyiannya di hutan. Sebenarnya, mereka ingin menyerah, tetapi tidak ada pilihan lain selain sembunyi. Pimpinan DI/TII, Sekarmadji Maridjan, akhirnya juga menyatakan menyerah dan meminta seluruh pasukannya menyerahkan diri.
Namun, tidak ada jaminan kalau mereka menyerah kemudian bisa selamat. Sebab, di tubuh tentara Republik sendiri ada kelompok yang memusuhi pasukan Darul Islam itu. Menyerah berarti hukuman mati. Namun akhirnya dengan bantuan Kiai Ngumar, Amid, Jun, dan Kiram dapat menyerahkan diri dan kembali ke masyarakat.
Tetapi, situasi politik saat itu memang serba kacau. Kelompok komunis menguat dan membentuk barisan organisasi perlawanan rakyat yang dipersenjatai. Mereka sering mengadakan rapat akbar dan mencemooh bekas anggota Darul Islam. Mereka juga sering melancarkan politik menyerang para kiai.
Hingga akhirnya terdengarlah kabar kalau kelompok komunis itu melakukan kudeta di Jakarta. Kabar itu terdengar juga di pedesaan dan juga di kampung Amid, Kiram, dan Jun. Tentara Republik lalu mengajak bekas pasukan Darul Islam yaitu Amid, Kiram, dan Jun ikut menyerbu kelompok bersenjata komunis yang masih bertahan di daerah. Amid, Kiram, dan Jun akhirnya ikut menyerbu kelompok komunis di tempat persembunyiannya. Namun, dalam penyerbuan itu Amid tertembak dan akhirnya mengembuskan napas terakhirnya.
Amid, tokoh utama dalam novel ini juga menikah dengan Umi, anak dari seorang tokoh Darul Islam. Umi sempat dibawa ke tempat persembunyian Amid saat masih menjadi pasukan Darul Islam. Umi mengandung dan melahirkan di tengah hutan.
*Penulis pegiat di komunitas Langit Tobo
Gambar ilustrasi www.kaskus.co.id