Nardi, Pemulung yang Menulis Buku Sastra Jawa
Minggu, 24 Juli 2016 22:00 WIBOleh Heriyanto
Oleh Heriyanto
Kota-Bojonegoro ini sebenarnya punya segudang penulis berbakat. Sebut saja JFX Hoery, Djayus Pete, Gampang Prawoto, dan beberapa lainnya. Sebagian dari mereka pernah memeroleh Anugerah Sastra Rancage, sebuah penghargaan cukup prestisius di Indonesia yang diperuntukkan bagi penulis yang gigih menulis dalam bahasa daerah.
Penulis yang satu ini unik. Kalau kebanyakan penulis biasanya profesinya guru, agamawan, politikus, akademisi, dosen, dan lain sebagainya. Namun tidak dengan pria asal Desa Kalitidu Kecamatan Kalitidu ini. Namanya Nardi (65), pekerjaannya adalah pemulung. Pemulung dalam arti sesungguhnya, bukan kiasan.
Ditemui beritabojonegoro.com (BBC) saat acara peluncuran buku terbarunya yang berjudul Menyok lan Bothekan beberapa saat yang lalu, Sabtu (16/07) di Padangan, Nardi bercerita tentang proses dia menulis.
“Saya ini pemulung. Pekerjaan saya memulung. Mencari bahan bekas dan saya jual,” kata Nardi dengan senyum ramah.
Nardi bercerita, dia mengawali menulis saat usianya tak lagi muda, sekitar 40 tahunan, pada tahun 1990. Menurut dia, usia tidak bisa dijadikan alasan orang terlambat melakukan sesuatu yang berharga. Bersama dengan teman-temannya yang tergabung di Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), Nardi menelurkan karya-karyanya. Teman-temannya semangat mendorongnya. Banyak dari karyanya yang sudah dimuat di majalah bahasa Jawa bergengsi seperti Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Beberapa lainnya dibukukan.
Seperti apa Nardi menulis?
“Saya menulis sambil bekerja,” katanya terkekeh,” di manapun. Sebab saya tidak punya kantor. Kantor saya ya di mana-mana sambil memulung,” katanya mulai bercerita.
Nardi bercerita, selain tak punya kantor, dirinya juga tidak punya meja untuk menulis. Dia menulis di mana saja, saat inspirasi muncul. Saat sedang mencari rumput, sebeb dia juga punya binatang ternak, ketika inspirasi muncul dia langsung menulisnya di secarik kertas. “Saya memang selalu membawa kertas dan polpen,” katanya.
Benar. Di zaman modern ini kebanyakan orang menulis memakai komputer, Nardi tidak. Dia masih menulis dengan polpen pada secarik kertas. Seringkali kertasnya bukan baru, melainkan yang sudah ada tulisannya. Halam baliknya yang kosong, dia gunakan untuk menulis. Kadang juga di bungkus kotak bekas makanan kenduri. Menulis di saat-saat memulung inilah salah satu yang menyebabkan tulisan karyanya bertemakan kemiskinan.
Bukunya Menyok lan Bothekan adalah buku kumpulan cerkak (cerpen) dan gurit (puisi dalam bahasa Jawa). Karya-karya yang terkumpul di dalam buku ini bertemakan kemiskinan.
“Menyok ini bercerita tentang kemiskinan masyarakat di tengah sebagian yang kaya. Menyok plesetan dari minyak. Lalu Bothekan ini adalah nama sebuah tempat bumbu masakan. Bumbu masakan itukan beragam, dimasukkan bothekan. Rasanya menyatu, jadi sedap,” katanya memberi penjelasan singkat.
Untuk merapikan tulisannya, Nardi dibantu teman-temannya di PSJB. Salah satunya adalah Harry Nugroho. Hary Nugroho ini juga yang menjadi editor penerbitan buku terbarunya Menyok lan Bothekan.
‘Saya mengetik tulisannya Nardi. Editingnya sekadar merapikan dan meruntutkan, serta soal tata bahasa. Sekitar 25 sampai 50 persen editingnya,” kata Hary kepada BBC.(her/moha)