Buku 9 dari Nadira Karya Leila S. Chudori
Menikmati Kolong Meja Nadira
Minggu, 13 September 2015 07:00 WIBOleh Nasruli Chusna *)
Oleh Nasruli Chusna*
MENGANGKAT kehidupan jurnalis memang selalu menarik. Seperti halnya dilakukan oleh Leila S. Chudori dalam Kumcer 9 dari Nadira. Meski berbentuk cerpen, 9 cerita menyerupai narasi novel yang utuh. Hingga pembaca, termasuk penulis, tidak menyadari bahwa buku setebal 270 halaman itu merupakan kumpulan cerpen dengan latar belakang dan sudut pandang berbeda-beda. Tapi plot yang berserakan itu diramu sedemikian rupa oleh Leila hingga menjadi satu kesatuan.
Kesamaan tokoh dan benang merah dari seluruh ceritanya membuat kita merasa membaca satu novel utuh. Judul cerita yang berbeda-beda bagai pergantian bab yang berkesinambungan.
Nadira adalah perempuan yang hidup dalam dunianya sendiri. Dia sadar akan keberadaan dirinya, tahu harus berbuat apa, tapi dia tidak membiarkan orang lain masuk ke dalam. Begitu pula dia tidak berkenan keluar dari ruang yang tersebut. Nadira membiarkan dirinya hidup dalam kenangan yang menyakitkan akan kematian ibunya. Ia membangun istana sunyi dalam kolong meja kerjanya di Majalah Tera.
Kematian Kemala, ibu Nadira, menjadi awal dari cerita dalam buku ini. Nadira yang sekilas tanpa emosi, membiarkan rasa sedih dan sakit hanya untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan kakak perempuannya yang histeris. Tapi jauh sebelum ibunya meninggal, Nadira sudah lebih dulu merasakan rasa tertekan dan kesendirian. Kakak tertuanya, Yu Nina, pernah menyiksa Nadira. Hanya karena Nadira memperoleh uang tambahan, Yu Nina menuduhnya mencuri.
Nadira juga kecewa pada kakak laki-lakinya, Kang Arya, karena keisengannya membuat karya Nadira yang selalu dibingkai ayahnya jadi hancur. Bakat menulis Nadira memang menurun dari ayahnya yang seorang wartawan. Ayah dan Ibu Nadira bertemu di Belanda. Ketika itu Bram bekerja paruh waktu di sebuah bar, Kemala, ibu Nadira, kebetulan diajak temannya ke bar tersebut. Dan jatuh cintalah mereka.
Nina, Arya dan Nadira dididik dengan baik oleh orang tua mereka. Mereka juga mendapatkan pendidikan agama yang kuat dari kakek mereka, ayah Bram. Sebagai perempuan, mungkin Nadira cenderung aneh. Terkurung di dalam dunianya sendiri, Nadira jadi penghuni kolong meja di kantornya. Nyaris bagai gembel. Padahal ia cukup cantik. Seuntai tasbih jadi benda kenangan yang membuat Nadira tenang, tasbih milik mendiang Kemala.
Saat yang bisa membuat Nadira tersenyum kala seorang aktivis, penyair gombal bernama Niko memasuki kehidupan Nadira. Hari-hari Nadira jadi merah jambu dan ceria, hari-hari yang malah membuat seorang Utara Bayu, atasan Nadira, menjadi sendu.
Ada kisah cinta dalam buku ini. Cinta seorang orang tua pada anaknya, cinta suami istri, cinta kakak-beradik. Cinta Utara Bayu terhadap Nadira yang tak kesampaian, dan cinta yang tak disadari Nadira pada Utara Bayu.
Leila sempat menulis kehidupan jurnalis dalam serial drama televisi, Dunia Tanpa Koma. 9 dari Nadira ini mengingatkan kita pada drama televisi itu. Konflik yang dibuat nyaris sama. Cinta atasan yang bertepuk sebelah tangan pada bawahannya, tokoh utama yang lebih memilih berlabuh pada tokoh antagonis. Serta figur perempuan yang selalu menolak kenyamanan.
Masih dalam kumcer 9 dari Nadira dan Dunia Tanpa Koma, kita disuguhi nama-nama pengampu feminism seperti Virgiana Wolf, serta sastrawan Republik Ceko, Milan Kundera. Tanpa mengingat tokoh feminis lain dari Timur Tengah seperti Qosim Amin dan Bintu Syauti’.
*Jurnalis beritabojonegoro.com (BBC), pegiat Komunitas Langit Tobo.