Memahami dan Menyikapi Perbedaan Hari Raya (Bagian-3)
Adanya Perbedaan Tempat Munculnya Hilal
Minggu, 20 September 2015 19:00 WIBOleh Drs.H. Sholikhin Jamik, SH.
Oleh Drs.H. Sholikhin Jamik, SH.
Tahun ini di belahan dunia sebagaimana diberitakan di media massa internasional, hari Raya Idul Adha 1436 H berbeda-beda. Negara Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Nigeria, Oman, Pakistan, Qatar, Turki, Urganda, Hari Raya Idul Adha-nya tanggal 23 September 2015. Philipina dan Arab Saudi tanggal 24 September 2015. Sedangkan Spanyol tanggal 25 September 2015, hal ini terjadi karena:
Adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya Hilal)
Selain adanya perbedaan metode penentuan awal bulan tersebut diatas (tulisan sambungan 2) ternyata masih ada lagi perbedaan dalam penentuan awal bulan yaitu adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal).
Dalam hal ini ulama terpecah menjadi dua, namun di sini penulis tidak membahas secara detail tentang terjadinya perbedaan tersebut karena bahasannya akan terlalu panjang, namun hanya memberikan beberapa contoh yang dipakai sebagai pedoman tentang adanya perbedaan mathla’ tersebut :
- Pendapat yang mengatakan bahwa Hilal hanya berlaku di negeri sendiri:
Imam Ibnu Khuzaimah berkata tentang hadits Kuraib, “Dalil tentang wajibnya atas tiap-tiap penduduk negeri puasa Ramadhan karena ru’yah mereka, tidak ru’yah selain negeri mereka”. Hadits Kuraib (ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu) yang selengkapnya sebagai berikut. Dari Kuraib, sesungguhnya Ummu Fadh binti Al Haarits telah mengutusnya menemui Mu’awiyyah di Syam. Berkata Kuraib, “Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadhan, sedang aku masih berada di Syam dan aku melihat hilal pada malam Jum’at.Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadhan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku, kemudian ia menyebut tentang hilal, lalu ia bertanya, ‘Kapan kamu melihat hilal (Ramadhan) ?’Jawabku, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at’ Ia bertanya lagi, ‘Engkau melihatnya (sendiri) ?’Jawabku, ‘Ya!Dan orang banyak juga melihatnya,lalu mereka puasa dan Mu’awiyyah juga puasa’ Ia berkata, ‘Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal)’Aku bertanya, ‘Apakah tidak cukup bagimu ru’yah dan puasanya Mu’awiyyah?’Jawabnya, ‘Tidak ! Begitulah Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kami'”.(Kitab Shahih Ibnu Khuzaimah)
Berkata Imam At Tirmidzi, “Sesungguhnya bagi tiap-tiap penduduk negeri ada ru’yah mereka (sendiri).” (Kitab Sunan At Tirmidzi)
Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i.
Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).
Imam Syaukani menambahkan : ‘Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim”. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dalam Hadawiyah.
- Pendapat yang mengatakan bahwa Hilal berlaku di seluruh negeri:
As-Shan’ani rahimahullah berkata, ‘Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ yaitu apabila ru’yah didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.’ (Subulus Salam 2/310) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata : ‘Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal.
Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.’ (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan masalah ini ketika ditanya apakah manusia harus berpuasa dengan mathla’ berbeda-beda, Beliau menjawab, yang benar adalah bersandar pada ru’yat dan tidak menganggap adanya perbedaan mathla’ karena Nabi Saw memerintahkan untuk bersandar dengan ru’yat dan tidak merinci pada masalah itu. Nabi SAW tidak mengisyaratkan adanya perbedaan mathla’ padahal beliau mengetahui hal itu (Tuhfatul Ikhwan, hal. 163)
Dari uraian diatas perbedaan awal bulan ternyata juga bisa terjadi karena perbedaan geografi, antara daerah satu dengan daerah lainnya, antara Negara satu dengan Negara lainnya dimana ada yang berpendapat bila didalam suatu daerah / negeri sudah ada yang bisa melihat hilal maka wajib bagi seluruh umat islam dinegeri tersebut berpuasa / berbuka. Inilah yang dianut contoh-contoh Negara diatas. Yang hari rayanya berbeda-berbeda.
Namun ada juga yang berpendapat yang wajib berpuasa / berbuka hanya satu daerah yang bisa melihat hilal, bukan satu negeri, bahkan ada juga yang berpendapat bahwa jika disuatu daerah sudah bisa melihat hilal maka seluruh dunia wajib berpuasa / berbuka. Ini yang dikenal menganut mathla’ global.
Dengan adanya uraian tersebut diatas dapat kita simpulkan bahwa :
- Sangat difahami terjadinya perbedaan tanggal antara Arab Saudi dengan Negara lain termasuk Indonesia, meskipun harinya sama atau harinya beda.
- Pelaksanaan shalat ‘Id baik Idul Fitri maupun ‘Idul Adha termasuk didalamnya adalah puasa arafah dasarnya adalah tanggal ( kemunculan bulan ) bukan berdasarkan hari ( Senin, Selasa, Rabu dst )
- Difahami terjadinya perbedaan hari pelaksanaan shalat ‘Id baik ‘Idul Fitri maupun ‘Idul adha antara Arab Saudi dengan Indonesia maupun Negara lain, termasuk juga puasa Arafahnya.
- Tidak ada dalil bahwa shalat Id harus mengikuti pelaksanaan shalat Id di Arab Saudi, karena penentuan awal hari dan bulan berdasarkan hilal di negeri masing-masing. Semua orang tentu faham bahwa yang dimaksud mengikuti berarti berada dibelakangnya, , Akal kita berkata “ Seharusnya bila pelaksanaan shalat Iedul adha di Arab Saudi pada hari Kamis tanggal 24 September 2015, kira-kira jam 6.00 waktu setempat maka di Indonesia baru boleh dilaksanakan hari Kamis setelah jam 10.00 ( karena jam 06.00 di Arab Saudi di Indonesia jam 10.00 ).Lantas bagaimana shalat bagi umat Islam yang berjarak 10 jam dari Arab Saudi ? tidakkah di daerah tersebut sudah pukul 16.00 (ba’da ashar).
Kesimpulannya, dengan uraian tersebut diatas bila terpaksa terjadi perbedaaan hari pelaksanaan shalat ‘id maka cara menyikapinya adalah :
Janganlah ada kelompok yang merasa paling benar dengan menyalahkan yang lain, karena perbedaan mustahil bisa dihindari, bahkan dalam satu negeripun kadang bisa berbeda, yang penting umat islam beribadah mengerti ilmunya, jangan asal mengikuti tanpa ada ilmunya ( taqlid buta ). Muhammad bin Husain al Jizani, dalam disertasi doktornya untuk kajian Ushul Fiqh di Universitas Islam Madinah, KSA, yang mengantarnya memperoleh yudisium summa cum laude disertai pengahargaan tingkat I, menulis tentang sikap islami terhadap masalah ijtihad dalam menghadapi perbedaan sebagai berikut:
- Tidak menganggap fasiq, mubtadi’ dan kafir pihak yang berselisih paham;
- Melakukan dialog yang sehat dengan mengutamakan dalil dan argumentasi;
- Tidak memaksakan kehendak atau paham kepada pihak lain;
- Tidak mengklaim kebenaran mutlak berada pada pihaknya. (*)
*) Penulis adalah alumni kursus hisab dan rukyat, yang diadakan Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur tahun 2006.