Ratusan Hektare Bekas Galian C Belum Direklamasi
Selasa, 16 Mei 2017 14:00 WIBOleh Piping Dian Permadi
Oleh Piping Dian Permadi
Bojonegoro Kota - Sudah bertahun-tahun? aktivitas pertambangan tipe galian c di beberapa wilayah Kabupaten Bojonegoro, namun hingga saat ini wilayah - wilayah yang berizin pertambangan rakyat tersebut tidak kunjung dilakukan reklamasi. Padahal bekas lokasi pertambangan itu menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang cukup serius.
Dari data Bagian Sumber Daya Alam (SDA) Pemerintah kabupaten Bojonegoro menyebutkan ada ratusan hektar lahan yang butuh peremajaan diantaranya meliputi, lahan milik Randi seluas 10,004 hektare, jenis pasir dan tanah uruk yang berlokasi di Desa Tebon, Wahyu Isnin Yunarto seluas 8.812,00 hektare (tanah uruk) di Desa Kalirejo Kecamatan Malo, Solikin seluas 8.353,00 hektare (tanah uruk) di Desa Katileng Kecamatan Malo, Hermfry seluas 9.587,00 hektare (pasir) di Desa Tebon Kecamatan Padangan, Siyo Susiyono seluas 10.059,00 hektare (pasir) di Desa Tebon Kecamatan Padangan, Abdul Rochim seluas 9.059,00 hektare (pasir) di Desa Tebon Kecamatan Padangan, Choirul Anas seluas 10.000,00 hektare (pasir) di Desa Tebon Kecamatan Padangan.
Selanjutnya, Edo Suwito seluas 9.814,00 hektare (tanah uruk) di Desa Ketileng Malo, Widiarto seluas 9.772,00 hektare (tanah uruk) di Desa Malo Kecamatan Malo, Carinanik seluas 5.525,00 hektare (tanah uruk) di Desa Malo Kecamatan Malo, Munarto seluas 9.034,00 hektare (tanah uruk) di Desa Donan Kecamatan Purwosari, Maryono seluas 9.330,00 hektare (pasir) di Desa Sambeng Kecamatan Kasiman, dan Mursid dengan lahan seluas 9.999,00 hektare (tanah uruk) di Desa Donan Kecamatan Purwosari.
Kasubag Sumberdaya Alam Bagian SDA Pemerintah Kabupaten Bojonegoro Dedy Kurniawan mengatakan bagian SDA saat ini tengah melakukan kajian terhadap lahan bekas galian C (IPR) di beberapa wilayah di Bojonegoro. Kajian tersebut nantinya akan digunakan sebagai pedoman di dalam pelaksanaan untuk reklamasi.
"Nanti bisa dilakukan oleh pihak ketiga, pihak ketiga melakukan sesuai kajian, untuk apa tanahnya setelah reklamasi, lalu teknik reklamasi seperti apa dan lain sebagainya," jelasnya.
Kajian tentang proses reklamasi tersebut saat ini masih dalam tahap perencanaan. Seharusnya kata Dedy, dari awal kewajiban reklamasi adalah dari pihak pemilik IPR itu sendiri, namun para pemilik izin melarikan diri dan tidak melakukan reklamasi.
Dulu mereka (pemilik izin) waktu ditanya mengenai proses reklamasi selalu mengatakan sanggup, namun dalam kenyataannya tidak sanggup. Mestinya itu dilanjutkan dengan jaminan uang di bank pemerintah, karena dulu tidak akhirnya mereka lari.
SDA juga mengakui bahwa dulu juga sempat ada pelanggaran pelaksanaan pertambangan. Para penambang itu menggunakan mesin dalam melakukan penambangan yang seharusnya tidak diperbolehkan.
" Dulu belum ada penindakan yang tegas padahal banyak menimbulkan kerusakan lingkungan, izinya sebenarnya belum selesai sampai tahun 2019. Mereka pernah menghadap untuk melaksanakan pertambangan lagi, tapi kalau mau melakukan pertambangan tidak boleh memakai alat mekanik," pungkasnya. (pin/kik)