Pramoedya Ananta Toer
Gadis Pantai, Mengungkap Sisi Gelap Feodalisme
Selasa, 20 Oktober 2015 07:00 WIBOleh Muhammad Roqib *)
*Oleh Muhammad Roqib
Pramoedya Ananta Toer atau biasa disapa Pram, sering menulis cerita dalam novelnya dari pengalaman hidupnya, keluarganya, dan lingkungan masa kecilnya di Blora, Jawa Tengah. Novel Gadis Pantai misalnya terinspirasi dari kehidupan neneknya, semasa Pram masih tinggal di Blora. Ada pula Cerita dari Blora, Keluarga Gerilya, dan Tetralogi Buru, hampir semuanya mengambil latar cerita pengalaman hidupnya semasa tinggal di Blora, Cepu. Dalam Tetralogi Buru misalnya, tokoh Minke, yang terinspirasi dari tokoh pers, Tirto Adi Soerjo, Annelis, dan Nyai Ontosoroh, juga banyak bercerita seputar perjalanan hidup dan perjuangan Minke di Blora, Surabaya, Bojonegoro, dan juga Cepu. Begitu pula, novel sejarah Arus Balik bercerita tentang kisah Kadipaten Tuban, usai keruntuhan Majapahit.
Novel atau roman yang ditulis Pram tidak jauh-jauh dari perjalanan dan pengalaman hidupnya. Ia mampu mengumpulkan, meramu, dan menyuguhkan cerita dan kisah begitu detail dan mengalir seolah-olah dia mengalami sendiri kisah itu. Seperti halnya, kisah Gadis Pantai yang ia ceritakan dalam novelnya ini.
Tokoh gadis pantai lahir dari pasangan nelayan sederhana di pesisir pantai utara Jawa. Sejak kecil gadis pantai memang terlihat rupawan dibandingkan dengan gadis-gadis sebayanya. Saat menginjak usia remaja semakin terlihat paras ayu gadis pantai.
Kehidupan nelayan yang miskin dan berat di sepanjang pesisir pantai utara sungguh menggiriskan. Para lelaki bertaruh nyawa melaut selama berminggu-minggu. Terkadang nelayan itu hilang tidak pulang karena dikepung badai atau mati karena perutnya disobek buntut ikan pari sudah menjadi risiko seorang nelayan.
Emak dan bapak gadis pantai tidak menginginkan kehidupan yang getir seperti itu. Ia ingin gadis pantai menjadi seorang priyayi. Maka suatu ketika saat usia gadis pantai menginjak belasan tahun, gadis pantai dilamar oleh bupati Rembang, penguasa daerah di pesisir pantai utara Jawa. Namun, yang melamar gadis pantai bukanlah sang bupati, namun hanya sebilah keris. Jadilah gadis pantai menikah dengan keris sang bupati penguasa itu.
Gadis pantai lalu diboyong ke Kota Rembang, tempat kediaman sang bupati. Emak dan bapaknya sudah membayangkan kehidupan anaknya akan berbalik drastis ketika tinggal di kediaman sang bupati, apalagi menjadi istrinya. Tetapi, dalam hati gadis pantai sebenarnya berontak. Ia tidak menyukai tinggal di balik rumah besar itu.
Gadis pantai diperlakukan layaknya seorang istri pembesar di rumah kediaman sang bupati. Ia dilayani oleh para pelayan yang tinggal di kediaman pembesar itu. Ia juga dipanggil dengan sebutan Mas Nganten sebagai istri bupati. Namun, setelah tinggal seminggu di kediaman itu, Mas Nganten tak juga ditemui oleh sang bupati.
Kediaman bupati itu berada di dekat alun-alun dan pesisir pantai utara. Deburan ombak keras terdengar dari balik dinding yang mengelilingi kediaman itu. Di dalam kediaman itu juga ada surau tempat mengaji para santri.
Setelah lama menunggu akhirnya Mas Nganten ditemui juga oleh sang bupati. Tubuhnya jangkung, kulitnya putih pucat, dan terlihat tidak berotot. Lain sekali dengan perawakan para pemuda nelayan yang selama ini ditemui gadis pantai. Namun, di balik tubuhnya yang kurus dan jangkung itu, sang bupati menguasai dan memerintah pelayan-pelayannya. Semuanya berjalan bersimpuh dan menyembah ketika berhadapan dengan sang penguasa Rembang ini.
Begitu pula Mas Nganten. Tak sepatah kata pun yang mampu dia ucapkan ketika bertemu suaminya itu. Mengetahui gadis pantai bersikap diam, sang bupati berucap pelan,”Kau sekarang jadi istriku Mas Nganten. Tinggallah senyaman mungkin di sini, ini rumahmu. Kau bebas memerintah siapa saja pelayanmu di sini,”. Tetapi Mas Nganten masih tertunduk diam.
“Ampun Gusti Bendoro, sahaya minta maaf beribu maaf. Saya lebih suka tinggal di kampung nelayan daripada di sini Gusti,”. Mendengar jawaban itu, sang bupati hanya tersenyum lalu meninggalkan ruangan istrinya itu.
Waktu pun berlalu, Mas Nganten lambat laun terbiasa dengan kehidupan barunya di kediaman besar itu. Suaminya, sang bupati itu juga sering bepergian ke luar kota untuk urusan pemerintahan dan lainnya. Mas Nganten lebih sering tinggal di kamar sendirian.
Namun seiring berjalannya waktu, Mas Nganten pun melunak dan melayani suaminya. Dalam hatinya juga mulai terbersit rasa sayang dengan suaminya itu. Setelah beberapa tahun tinggal serumah, akhirnya Mas Nganten merasakan itu. Perutnya mual, pandangannya kabur, dan tubuhnya lemas. Ia telah mengandung.
Selama mengandung ia lebih sering sendirian di kamar. Para pelayan sibuk membersihkan rumah, memasak di dapur dan pekerjaan rutin lainnya. Sementara para santri mengaji di surau. Setelah sembilan bulan, akhirnya Mas Nganten melahirkan seorang bayi mungil perempuan. Wajahnya mirip seperti dirinya. Ia senang sekali melihat anaknya lahir dengan selamat ke dunia ini.
Namun, kebahagiaan Mas Nganten tidak berlangsung lama. Beberapa hari kemudian sang bupati memanggilnya. Sang bupati itu duduk selonjor di kursi panjang sambil membaca sebuah kitab. Mas Nganten mengendap-endap bersimpuh menghadap suaminya. “Ampun Gusti Bendoro, ada apa gerangan Gusti memanggil hamba,” tanya Mas Nganten.
“Mulai besok engkau tinggalkan kediaman ini. Rumahmu bukan di sini lagi. Sudah kusiapkan segala perbekalan dan pesangon yang cukup untukmu. Cukup untuk membuat satu kapal besar yang bisa dipakai oleh bapakmu. Ambillah itu semua untukmu. Tetapi, tinggalkan anakmu di sini, biar diurus oleh para pelayan,” ujar Bendoro.
Mas Nganten begitu terkejutnya mendengar perintah itu. Ia tidak pernah menyangka akan begitu cepat diceraikan dan disuruh pergi oleh Gusti Bendoro, suami dan sekaligus anaknya yang masih beberapa hari melihat dunia itu.
“Ampun Gusti Bendoro, beribu ampun. Saya tidak menyangka Gusti Bendoro akan berbuat seperti ini. Hamba tidak apa-apa meninggalkan kediaman ini, tetapi biarlah anak hamba ini saya bawa pulang ke kampung nelayan,” ucap Mas Nganten dengan nada bicara terbata-bata.
“Apa kau tidak dengar perintahku. Tinggalkan kediaman ini. Tinggalkan anakmu itu,” ujar Bendoro tanpa menoleh sedikit pun pada mantan istrinya.
“Kau sepertinya tak peduli dengan anakmu sendiri Gusti Bendoro. Sampai hati engkau biarkan anakmu tidak boleh kususui, susu ibunya sendiri,” ucap Mas Nganten dengan nada sedikit meninggi.
Mendengar itu, sang bupati Rembang mulai naik pitam. “Kau sudah mulai kurang ajar. Kau ini anak nelayan, anak kampung sudah berani macam-macam. Pengawal, tangkap perempuan ini dan seret keluar. Bawakan juga perbekalan yang sudah disiapkan,” perintah sang bupati pada pengawal yang berjaga di dekat pintu gerbang.
Gadis pantai berusaha melawan dan meronta. Namun, ia tak kuasa berhadapan dengan beberapa pengawal yang bertubuh kekar itu. Ia pun diseret keluar. Di depan pintu gerbang juga telah dipersiapkan dokar yang akan membawanya ke kampung nelayan. Gadis pantai meronta, menagis sejadi-jadinya. Nasib yang dialaminya begitu tragis. Ia tidak berdaya, ia pun akhirnya menuruti pulang naik dokar itu. Tetapi, sampai di tengah jalan, ia memutuskan berhenti dan kembali ke Kota Rembang. Perintah sang bupati agar ia tidak menginjakkan kaki di Rembang, tak diturutinya. Sesekali, gadis pantai terlihat mengintip dari balik pintu gerbang kediaman bupati itu, tetapi setelah lama kemudian, ia tidak tampak lagi.
Kisah gadis pantai yang diceritakan oleh Pram dalam bukunya ini mengungkap sisi gelap kehidupan feodalisme Jawa. Gusti bendoro bupati Rembang itu misalnya beberapa kali menikah dengan gadis dari perkampungan tetapi hanya dijadikan istri selir. Gusti Bendoro itu masih belum dianggap menikah selama belum menikah dengan kalangan kelas priyayi yang dianggap setara derajatnya. Sebenarnya novel gadis pantai ini masih ada kelanjutannya. Akan tetapi, buku novel gadis pantai itu naskahnya hilang semasa rezim Orde Baru.