Mengunjungi Soesilo Toer di Blora
Menjadi 'Rektor' itu Pekerjaan Mulia
Sabtu, 07 November 2015 17:00 WIBOleh Mohamad Tohir
Oleh Mohamad Tohir
Kota-Dia memang bukan orang Bojonegoro. Tetapi tak apa. Dia masih berhubungan erat dengan Bojonegoro. Saudaranya, seorang penulis legendaris, menulis sebuah karya besar yang mengangkat citra anak bangsa luar biasa yang hampir terlupakan sejarah. Beberapa tahun kemudian ketika pengarang itu mati, anak bangsa itu dinobatkan sebagai pahlawan nasional.
Dia bernama Soesilo Toer. Dan pengarang luar biasa itu bernama Pramoedya Ananta Toer, kakaknya. Sedangkan yang hampir terlupakan itu bernama Tirto Adie Soerjo (TAS), sang Bapak Pers Nasional. TAS ini adalah cucu bupati Bojonegoro Tirtonoto II, tulis Pram dalam salah satu bukunya, Sang Pemula.
Begitulah, kalau diotak-atik. Dia nyambung dengan Bojonegoro juga. Saudaranya, si Pram itu, menyebut-nyebut Bojonegoro dalam karya luar biasanya itu. Yang dibaca oleh jutaan manusia di berbagai belahan negeri. Yang mengantarkan Pram duduk pada posisi kandidat peraih hadiah Nobel bidang Sastra, penghargaan yang konon paling bergengsi sejagat itu.
Sabtu kemarin, saat sore baru saja menjelang dan bau basah tanah sehabis hujan masih menguarkan aroma ampo, BeritaBojonegoro.com (BBC) punya kesempatan datang ke rumahnya, di Jalan Sumbawa 40, Jetis, Kabupaten Blora.
“Minke itu bukan anaknya orang Blora. Dia anaknya orang Bojonegoro. Dia itu Bojonegoro,” kata Pak Soes, begitu kami memanggilnya, saat kami baru saja duduk. Kami tentu saja kaget. Di sebuah daerah yang tidak memiliki sosok hero untuk dibanggakan ini, Pak Soes menyebut nama Minke sebagai orang Bojonegoro.
Siapa Minke memangnya? Minke adalah tokoh fiksi dalam karya Pramoedya Ananta Toer yang adalah jelmaan tokoh yang benar-benar nyata di alam faktual ini. Ya Tirto Adie Soeryo tadi.
“Saya punya datanya. Saya punya arsip silsilahnya,” lanjutnya. Tapi kami tidak memintanya untuk menunjukkan bukti. Sebab kami tak ingin berdebat. Soal kebenaran sejarah kadang memancing perdebatan dan bahkan bisa bunuh-bunuhan. Saya cukup mengiyakannya. Lagipula apa ruginya? Sebagai orang Bojonegoro yang jauh-jauh datang ke rumahnya, dengan memilih tidak rekreasi di tempat-tempat hiburan, pantai, gunung, bar, diskotik, atau kafe, kata-katanya itu cukup menghibur juga.
Soesilo Toer sudah tua, 73 tahun usianya sekarang. Tapi dia masih sehat dan berkarya, meski beberapa kali tumbang dan sakit. “Tahun lalu saya operasi hernia dan prostat di Bojonegoro. Rumah sakit mana itu, apa namanya?” tanyanya. Kami menyebut nama RSUD Sososdorojatikusumo. Pak Soes membenarkan.
Sekarang dia tinggal sendirian di rumah, bersama sang istri, Suratiyem, yang saat kami datang itu, dia sedang sakit. Rumah itu sekaligus dia manfaatkan sebagai perpustakaan bernama Pataba. Singkatan dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. Ribuan buku ada di sana, dari bahasa Jawa, Indonesia, Arab, Belanda, hingga Rusia. Foto-foto para tokoh bangsa juga banyak dipajang pada dinding ruangan. Juga beberapa lukisan hasil karya pengagum Pram.
Pak Soes yang sudah renta ini masih sehat dan punya ingatan kuat. Hanya sedikit pancingan tanya saja, dia sudah bercerita panjang lebar tentang petualangannya ke Belanda, Rusia, Jakarta, organisasi-organisai yang diikutinya dan pertemuan-pertemuannya dengan orang penting negeri ini.
Saudara kandung pengarang besar ini jangan kita bayangkan hidup mewah. Rumahnya dari kayu papan biasa, meski ada bagian yang bertembok, namun tak banyak. Halaman depan rumahnya banyak berserakan tahi kambing. Saat ngobrol di dalam rumahpun, sesekali beberapa kambing miliknya ikut masuk dan mengendus-ngendus tangan kami.
Sosilo Toer mangaku bahwa pekerjaannya saat ini adalah pekerjaan yang mulia. “Apapun pekerjaan itu mulia. Sepanjang tidak meminta-minta dan mengambil punya orang lain,” terangnya. Prinsip hidupmya itu diwarisinya dari sang ayah dan juga dipegang teguh oleh Pram sendiri, sang kakak.
“Pekerjaan saya adalah rektor,” katanya kemudian. Kami membayangkan bahwa dia adalah seorang akademisi di sebuah universitas yang mengajar para mahsisiswa sebelum dia menjelaskan bahwa rektor itu sebuah anagram, singkatan. “Korek-korek barang kotor,” begitu katanya. Maksudnya menjadi pemulung.
Pak Soes bercerita bahwa dia menjadi pemulung dalam artian sungguhan. Namun berbeda dengan kebanyakan pemulung yang keluar rumah di hari terang, dia beraksi di malam hari, saat orang terlelap. “Saya mengambil barang-barang bekas dan sisa makanan, di depan hotel itu kan banyak. Yang paling utama dulu adalah untuk makan ternak-ternak saya, kambing, dan ayam saya,” katanya.
Di tahun 2015 ini, dia masih berkarya. Beberapa di antara karyanya yang terakhir adalah Pram dalam Bubu, Pram dalam Kelambu, dan Pianis Kecil. “Yang sedang dalam penggarapan ini adalah Pram dalam Tungku. Siapapun bisa menulis di buku itu nantinya. Mau memuji Pram, mau menghujat Pram, silakan,” terangnya. Dia mempersilakan kami mengirim tulisan kami tentang Pram untuk dibukukan bersama kontributor lainnya. Nampaknya, menulis tentang Pram tak ada habisnya.
Saat kami pulang, matahari mengintip di balik dedaunan mangga. Malam sebentar lagi menjelang. Pak Soes mengantar kami sampai gerbang rumahnya yang terbuat dari papan kayu itu. (moha/inc)