Dinas Lingkungan Hidup: Suhu Udara di Bojonegoro Capai Lebih 44 Derajat Celcius
Jumat, 25 Oktober 2019 13:00 WIBOleh Dan Kuswan SPd Editor Imam Nurcahyo
Bojonegoro - Selama bulan Oktober 2019, suhu udara di Kota Bojonegoro mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Terlebih lagi selama dua hari belakangan, suhu udara di kabupaten Bojonegoro mencapai lebih dari 44 derajat celcius, dengan kelembaban di bawah 20 persen.
Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bojonegoro, Dra Nurul Azizah MM, Jumat (25/10/2019) pagi di kantornya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bojonegoro, Dra Nurul Azizah MM, saat menunjukkan alat pengukur suhu. Jumat (25/10/2019) pagi di kantornya.
Menurutnya, berdasarkan alat ukur yang dimiliki DLH Bojonegoro, yaitu alat thermohygrometer, bahwa pada Kamis (24/10/2019) pukul 12.35 WIB kemarin, suhu udara di Kota Bojonegoro berada di kisaran 44,6 derajat celcius, dengan kelembaban udara 18 persen. Sementara, pada Jumat (25/10/2019) pukul 09.37 WIB, suhu udara di Bojonegoro berada di kisaran 33,8 derajat celcius, dengan kelembaban udara 41 persen.
"Ini kita bandingkan dengan minggu-minggu lalu, ada kenaikan 2 digit, artinya lebih panas saat ini. Kalau kita keluar ruangan, sudah terasa menyengat di wajah kita," kata Nurul Azizah, Jumat (25/10/2019) pagi
Suhu udara di Kabupaten Bojonegoro pada Jumat (25/10/2019) pukul 09.37 WIB, berada di kisaran 33,8 derajat celcius, dengan kelembaban udara 41 persen.
Nurul juga menyebutkan bahwa penyebab meningkatnya suhu di Kabupaten Bojonegoro, selain disebabkan oleh kemarau panjang, juga diakibatkan pepohonan atau ruangan terbuka hijau di Bojonegoro yang masih kurang dan juga diakibatkan oleh efek dari gas rumah kaca serta diakibatkan banyaknya timbulan sampah.
"Penyebab meningkatnya suhu di Kabupaten Bojonegoro juga diakibatkan banyaknya timbunan sampah." kata Nurul Azizah.
Hal tersebut karena jumlah penduduk di Bojonegoro, naik sehingga timbunan sampah juga naik. Dri tumpukan sampah tersebut mengakibatkan naiknya gas metan dari timbunan sampah tersebut. "Gas metan inilah yang menyebabkan panas," tutur Nurul Azizah.
Selain itu, juga adanya beberapa faktor yang lain yaitu buangan sementara. Menurutnya, kalau dulu banyak tanah kosong sekarang tanah kosong sudah jarang, karena juga untuk pemukiman sehingga sudah tidak ada pembuangan sementara.
"Padahal dulu adalah sebagai tempat penyimpanan air, kemudian kita lihat dari kebutuhan kehidupan manusia sudah ada kenaikan, sehingga sudah tidak ada pembuangan sementara." pungkasnya. (red/imm)