Catatan Hari Pahlawan
Menanti Munculnya Pahlawan Masa Kini
Selasa, 10 November 2015 12:00 WIBOleh Nasruli Chusna *)
*Oleh Nasruli Chusna
Akhir tahun 2008, saya berkesempatan mewawancarai Bambang Sulistomo. Putra dari Bung Tomo, tokoh pengobar semangat arek-arek Suroboyo pada perang mempertahankan kemerdekaan, 10 November 1945. Kala itu dia sedang menjadi pengisi acara sarasehan tentang kepahlawanan di sekretariat Keluarga Masyarakat Jawa Timur (Gamajatim), Kairo, Mesir. Sementara saya bersama beberapa mahasiswa Indonesia di Kairo mengelola buletin Media Kebudayaan Rakyat, atau lebih dikenal dengan sebutan Makar, yang saat itu juga sedang mengangkat tema mencari pahlawan Indonesia masa kini.
Pada saat wawancara dia menceritakan bahwa Bung Tomo sangatlah tegas mendidik anak-anaknya. Anak-anaknya sering ditinggal untuk keliling menebar semangat nasionalisme. Entah itu melalui siaran radio maupun berpidato secara langsung di hadapan para pemuda. Bung Tomo yang tak pernah lelah menggelorakan jiwa pemuda, lanjut Bambang, sangat mengidolakan Boden Powel sebagai tokoh panduan dan John F Kennedy sebagai pemimpin.
Lalu mengenai siapakah yang saat ini bisa disebut pahlawan dia tidak berkomentar banyak. Hanya saja menurutnya menyandang predikat sebagai pahlawan itu tidaklah ringan. Karena idealnya yang menilai adalah masyarakat, setelah kiprahnya benar-benar dirasa manfaatnya. Hanya saja yang paling penting, menurutnya, adalah orang yang bergerak tanpa tendensi materi. Pahlawan itu bagai oase di padang pasir. Kehadirannya sangat membantu masyarakat, namun wujudnya kerap kali tidak tampak.
Apa yang disampaikan oleh Bambang Sulistomo itu memang merupakan cerminan dari tokoh-tokoh pahlawan yang mendahului kita. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Tan Malaka, Hatta, Syahrir dan banyak lagi yang lainnya merupakan peletak fondasi bangsa, yang jasanya tak bisa untuk dilupakan. Mereka sudah tiada, namun kita masih bisa merasakan kehadirannya lewat gagasan-gagasannya. Entah dari buku-buku yang mereka telurkan. Atau dari gerakan-gerakan progresif yang mereka tinggalkan.
Lantas, siapakah yang dapat, kita kategorikan, sebagai pahlawan di masa sekarang? Atau saya lebih suka menyebutnya gerakan-gerakan kepahlawanan. Jangan-jangan mereka ada di sekitar kita. Bisa juga kita sudah merasakan apa yang mereka perjuangkan.
Membincang Bojonegoro kini sedang memasuki era industrialisasi. Dimana gerakan-gerakan membangun paradigma harus senantiasa dilakukan. Sebab itu bolehlah kita mengapresiasi gerakan literasi yang dilakukan oleh komunitas Lesung. Sementara dalam rangka membangun mindset kita juga bisa menengok komunitas Langittobo, yang saban bulan mengadakan kenduri sebagai wujud pembacaan sosial budaya masyarakat sekitar. Selain itu sanggar Sayap Jendela dengan gerakan seni dan budayanya, selalu mewarnai Bojonegoro.
Tentu saja masih banyak yang belum saya sebutkan. Hanya saja menurut hemat saya, gerakan-gerakan mereka yang tanpa tendensi materi patut kita apresiasi setinggi-tingginya. Tentu saja apresiasi juga patut kita sematkan pada gerakan-gerakan kepahlawanan yang lainnya. (*)
*Jurnalis BBC, guru bahasa Arab SMP Negeri 2 Bojonegoro