Pendeta Muda Pengamat Jawa
Sedikit Tentang Jawa di Mata Akris Mujiono
Selasa, 29 Desember 2015 21:00 WIBOleh Vera Astanti
Oleh Vera Astanti
Kota – Akris Mujiono adalah pendeta termuda saat dia diangkat, 2010 silam. Proses dia bisa menjadi pendeta juga tidak lama, hanya satu setengah tahun. Padahal proses menjadi pendeta bisa makan waktu cukup lama. Serta yang jauh lebih penting pendeta Akris begitu bersemangat dengan segala keilmuan.
“Ada itu yang sampai 7 tahun, belum diangkat juga,” kata Akris Mujino menjelaskan. BeritaBojonegoro.com (BBC) beberapa hari lalu menemui pendeta di GKJTU ini, di sela-sela kesibukannya menyiapkan acara.
Lelaki asli Blora ini telah menyelesaikan studinya di Teologi Ungaran Semarang 2008 lalu. Skripsinya mengangkat tentang Jawa. Tentang Jawa yang memiliki karekter khas yang tidak dimiliki daerah lain.
Di zaman yang serba maju ini, kata Akris, banyak orang mengatakan bahwa Jawa perlahan menghilang. Budaya Jawa telah dilupakan oleh generasi mudanya. Wayang, bahasa dan budaya lainnya hanya dikuasai oleh orang orang tua. Apalagi dengan adanya pluralisme, Jawa mungkin bisa musnah.
Namun Pendeta Akris melihat kebalikannya. Menurutnya Jawa tidak pernah hilang, dia hanya melebur dalam bentuk baru. "Orang lain hanya melihat bentuk fisik dari Jawa mulai wayang, bahasa dan lainnya. Tetapi sebenarnya ruh jawa tidak pernah hilang, dia hanya meminjam bentuk dari luar. Di dalamnya murni jawa."
Akris memberikan contoh bahwa walaupun zaman sudah canggih, manusia bisa terbang ke mana saja. Orang Jawa tidak bisa lepas dari yang namanya dukun, klinik dan lainnya. Dalam pernikahan, masih menggunakan hitungan hari, misalnya.
Contoh lainnya adalah soal bahasa. Orang Jawa memang memiliki tiga tingkat bahasa. Dalam bahasa Indonesia, menggunakan kata kamu kepada orang tua itu sah saja. Tetapi lihatlah, orang Jawa tidak bisa meng'kamu'kan orang yang lebih tua.
Jawa memang tidak memiliki bentuk fisik, sehingga setiap ada kebudayaan dari luar, Jawa meminjam fisiknya. Kelihatannya saja Jawa sudah kalah oleh budaya luar, padahal tidak. Budaya luar telah dikalahkan oleh Jawa dengan sifat luwesnya. (*)