Urgensi dan Signifikansi Pencatatan Nikah
Kamis, 07 Januari 2016 08:00 WIBOleh Drs H Sholikhin Jamik SH
Oleh Drs H Sholikhin Jamik SH
Kontruksi hukumnya
Pernikahan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Hal ini tertuang dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dipertegas pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 2 ayat (2) UU itu dan KHI pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut perundangan-undangan yang berlaku.
Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo UU Nomor 32 Tahun 1954, dan KHI pasal 5 ayat (2). Dan untuk memenuhi ketentuan tersebut setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (pasal 6 ayat [1] KHI).
Sementara dalam KHI pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Urgensi Pencatatan Nikah
Walaupun alasan utama pencatatan nikah ‘sekedar’ untuk ketertiban administrasi, sebagaimana yang dimaksudkan pasal 5 ayat (1) KHI, namun dalam prakteknya berimplikasi sangat jauh.
Pasal 5 ayat (1) KHI: “agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Terciptanya ketertiban yang berkaitan dengan administratif kenegaraan diharapkan akan mengarah kepada terciptanya ketertiban sosial kemasyarakatan. Peristiwa-peristiwa perkawinan di Indonesia dapat dikontrol sehingga tidak ada pihak-pihak (terutama perempuan) yang dirugikan. Dengan kata lain peraturan itu dibuat bukannya tanpa tujuan.
Untuk mencatatkan perkawinannya masing-masing pihak calon suami dan istri harus memenuhi berbagai persyaratan dan mengisi berbagai blanko untuk menjamin kejelasan status dan wali (sebagaimana diatur dalam pasal 5 dan 6 PP Nomor 9 Tahun 1975). Lihat dalam Depag RI, Pedoman PPN, 185-6. Dengan ini diharapkan tidak terjadi penipuan status dan ketidakjelasan-ketidakjelasan yang dapat menghalangi tercapainya tujuan berumah-tangga.
Dan dalam prakteknya, dengan keharusan memenuhi persyaratan administratif saja, masih ada yang merekayasa atau memalsukan statusnya, apalagi jika tidak ada persyaratan-persyaratan tersebut.
Argumentasi teologis Pencatatan Nikah
Argumentasi teologis sebagai landasan untuk menjadikan pencatatan sebagai rukun atau syarat sahnya perkawinan sangat jelas.
Pertama, Ber-qiyas kepada ayat mudayanah, (al-Baqarah [2]: 282) yang mewajibkan pencatatan hutang piutang. Berdasarkan mafhum muwafaqat dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa transaksi utang-piutang saja harus dituliskan dengan dua orang saksi, tentu akan lebih penting lagi mencatatkan akad transaksi yang mengikat kehidupan dua insan dalam bentuk perkawinan, apalagi akad nikah dilabeli oleh al-Qur’an sebagai mitsaqan ghalizan (perjanjian yang teramat kokoh agung suci).
Dalam konteks zaman modern seperti saat ini, sebuah perjanjian apalagi perjanjian agung perlu bukti autentik untuk menjaga kepastian hukum. Bahkan redaksi ayat mudayanah dengan tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan daripada kesaksian (yang dalam perkawinan, kesaksian menjadi salah satu rukun). Qiyas tersebut dalam istilah ushul fikih disebut qiyas al-aulawi (analogi yang hukumnya pada furu’ lebih kuat daripada yang melekat pada asalnya). Q.S. al-Baqarah (2): 282;
Kedua, Berdasarkan hadis Nabi SAW:…jangan melacur dan jangan melakukan pernikahan siri (Lihat Kitab an-nikah, Sunan at-Tirmizi, Hadis No. 1008; Kitab an-Nikah, Sunan an-Nasa’i, No. 3316-3317; Kitab an-Nikah, Sunan Ibn Majah, Hadis No. 1886).
Ketiga, Berdasar pada sejumlah hadis menghimbau agar mengumumkan perkawinan (Lihat as-Sarakhsi, al-Mabsut; V:31; Sunan at-Tirmizi No. 1009; Sunan Ibn Majah No. 1885; dan Musnan Ahmad No. 15545. (*)
*) Penulis adalah Wakil Panitera Pengadilan Agama Bojonegoro
Ilustrasi buku nikah dari kompasiana.com