Literatur Fikih Tidak Dijumpai Pengaturan Pencatatan Nikah?
Rabu, 20 Januari 2016 09:00 WIBOleh Drs.H. Sholikhin Jamik, SH.
Oleh Drs.H. Sholikhin Jamik, SH.
Dari perspektif fikih, ada beberapa analisis yang mengungkapkan mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius walaupun ada ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi mu’amalah ( Q.S 2:282)
Analisisnya sebagai berikut:
- Larangan untuk menulis sesuatu selain al-Qur’an, berakibat tidak berkembangnya kultur tulis dibandingkan dengan kultur hafalan (oral).
- Dampak lebih lanjut, mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Apalagi mengingat sebuah peristiwa perkawinan, tentu bukan persoalan sulit untuk dilakukan.
- Tradisi walimah al-ursh walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi di samping saksi shar’i terhadap sebuah perkawinan.
4 Ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-masa awal Islam belum terjadi antar-wilayah negara yang berbeda; calon suami-isteri berada dalam suatu wilayah yang sama, sehingga alat bukti perkawinan selain saksi belum dibutuhkan. (Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), 121.
Analisis Epistemologis
- Pendekatan historis.
“Mengapa dalam kitab-kitab fikih tidak ada satu ulama pun yang menyebutkan masalah pencatatan perkawinan sebagai rukun dan atau syarat nikah? Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan diplomatis bahwa kitab-kitab tersebut merupakan produk budaya yang merupakan jawaban dan refleksi atas kondisi sosial budaya yang melatarbelakanginya. Dan saat itu ketika kitab-kitab itu disusun boleh jadi tingkat integritas/‘amanah’ muslim masih sangat tinggi, sehingga untuk mengadakan akad yang sedemikian agung dan suci (pernikahan), mereka mempersiapkan dan meniatkannya dengan sesuatu yang suci juga. Oleh karena itu kemungkinan menyalahgunakan lembaga perkawinan untuk tujuan sesaat atau sementara yang tidak sejalan dengan tujuan ideal perkawinan dan merugikan pihak lain relatif kecil, sehingga tanpa dicatatkan pun tidak akan menjadi masalah.Pernyataan ini jangan lantas menyalahkan kitab-kitab fikih. Bukan kitab fikihnya yang tidak relevan, tetapi kesalahan itu berada pada orang-orang yang menempatkan fikih yang ditulis waktu itu, untuk kepentingan sekarang. Pernyataan di atas tidak lantas menggeneralisir bahwa muslim sekarang sudah tidak dapat dipercaya lagi, tapi fakta menunjukkan bahwa dengan keharusan memenuhi berbagai persyaratan administrasi untuk pencatatan pernikahannya saja banyak terjadi penipuan rekayasa, apalagi jika tidak dicatatkan
- Pendekatan qa’idah al-fiqhiyyah: ??????? ?????? ????? ??? ???? (tiada sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu, maka adanya sesuatu itu menjadi wajib hukumnya), berdasarkan asumsi bahwa peraturan pencatatan perkawinan merupakan peraturan yang sengaja dibuat dalam rangka menyempurnakan kualitas sebuah perkawinan. Penyempurnaan kualitas ini berkaitan erat dengan status perkawinan yang merupakan bagian dari perintah Allah dalam rangka beribadah kepada-Nya. Karena tujuannya yang luhur itu maka segala peraturan yang telah ada sebelumnya dalam kitab-kitab fikih dan peraturan yang muncul terkemudian wajib untuk diadakan. Dengan demikian jika tiada sempurna sebuah perkawinan kecuali dengan adanya pencatatan, maka adanya pencatatan menjadi wajib hukumnya.
- Pendekatan maslahat. Pendekatan ini muncul sebagai jawaban terhadap pandangan sebagian orang yang menyatakan bahwa perkawinan sirri (tanpa pencatatan) adalah sah menurut agama. Padahal menurut hemat penulis, perkawinan sirri tersebut hanya sah menurut fikih dan tidak atau belum sah menurut agama. Karena pesan yang dibawa agama adalah universal di bawah prinsip rahmatan lil-‘alamin. Artinya, segala tindakan manusia hanya dapat dibenarkan menggunakan justifikasi agama sejauh ia mendatangkan manfaat bagi kepentingan umum li tahqiq masalih al-‘ammah, bukan kemaslahatan yang bersifat perorangan atau kasuistik. Ini berbeda dengan fikih yang diformulasikan oleh fuqaha yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Jadi bisa saja, dahulu suatu keputusan hukum dapat mendatangkan kemaslahatan, namun diterapkan pada masa sekarang malah menimbulkan kemadaratan. Oleh karena itu, harus dibedakan (konteknya), bukannya dipertentangkan. Apalagi masalah ini didukung oleh data faktual bahwa perkawinan yang tidak dicatat akan menimbulkan kesengsaraan bagi pihak istri yang ditinggal suaminya tanpa tanggung jawab yang jelas.
? Dan karena Islam memberikan pandangan yang dalam dan serius tentang pengaruh perkawinan dan kedudukannya dalam membentuk hidup perorangan, rumah tangga, dan ummat, maka Islam memandang bahwa perkawinan bukanlah hanya sekedar aqad (perjanjian) dan persetujuan biasa yang hanya cukup diselesaikan dengan ijab kabul serta saksi, sebagaimana perjanjian-persetujuan lainnya, melainkan persetujuan itu ditingkatkan menjadi mithaq, piagam perjanjian, persetujuan dan ikatan yang meresap ke dalam jiwa dan sanubari, pertanggungjawabannya untuk terus memelihara dan memenuhinya, biar bagaimana pun rintangan yang menghadang. Perkawinan dinyatakan oleh Allah sebagai suatu ikatan yang teguh dan janji yang kuat, sukar untuk membuka dan menanggalkannya*
Ketua BPH Stikes Muhammadiyah Bojonegoro (Maboro)