Musim Banjir, Perajin Batu Bata Berhenti Produksi
Rabu, 07 Desember 2016 14:00 WIBOleh Vera Astanti
Oleh Vera Astanti
Bojonegoro Kota - Banjir Bengawan Solo yang melanda beberapa wilayah di Kabupaten Bojonegoro membuat perajin batu bata merah berhenti produksi. Salah seorang perajin di Kelurahan Ledok Kulon Kecamatan Bojonegoro Kota, Peni (48), mengaku yang dilakukan saat ini hanya membakar sisa hasil pembuatan batu bata saat musim kemarau lalu.
Ditemui beritabojonegoro.com (BBC) di tempat pembakaran batu bata tak jauh dari rumahnya di Ledokkulon, Peni sedang sibuk memantau batu bata hasil cetakannya agar benar-benar terbakar maksimal. Tempat pembakaran berupa gubuk seluas 6 x 8 meter dengan atap genting itu berada sekitar 10 meter dari bibir sungai yang berada di bawahnya. Di sela-sela tumpukan batu bata di dalam gubuk, disebar sekam padi yang berfungsi untuk mempermudah bara api. Sementara ribuan batu bata merah yang sudah matang tersusun rapi pada tanah membentuk kotak besar tak jauh dari tempat pembakaran.
Batu bata yang dibakar itu adalah hasil cetakannya pada musim kemarau beberapa bulan yang lalu. Dia mengaku tidak memproduksi batu bata selama musim penghujan ini, apalagi saat banjir melanda, malah tidak mungkin. “Sudah satu bulan ini kami berhenti membuat batu bata lantaran sungai mulai banjir. Ini hanya membakar sisa-sia pembuatan musim tiga kemarin. Takut kalau ada banjir yang lebih besar lagi," ujar Peni.
Peni mengaku mendapat informasi dari Kang Yoto (Bupati Bojonegoro) banjir musim ini dikhawatirkan akan lebih besar dari tahun 2007/ 2008 lalu. Untuk itulah, batu bata yang masih mentah tersebut segera dibakar. Kalau sudah matang, maka batu bata tersebut akan aman meski diterjang banjir. Berbeda ketika masih mentah belum dibakar, maka akan larut saat kena air.
"Ketika musim hujan seperti ini, pembakaran bisa memakan waktu mulai seminggu sampai sepuluh hari. Karena cuaca yang dingin berpengaruh pada kecepatan pembakaran," sambungnya.
Peni bekerja bersama suaminya. Saat normal Peni dan suami mampu menghasilkan 500 buah batu bata sehari. Kemudian dia akan menjualnya dengan harga Rp 600 ribu per 1000 buah. Namun karena musim banjir ini mereka berhenti berproduksi. Mereka bekerja lainnya untuk memenuhi kebutuhan.
“Ya kami jadi buruh tani sehari-hari kalau begini,” kata Peni. (ver/moha)