Ketoprak Siswo Budoyo, Berjuang Melestarikan Seni Tradisi
Rela Bergulat Dengan Zaman Demi Pertahankan Pakem
Minggu, 25 Desember 2016 14:00 WIBOleh Vera Astanti
Oleh Vera Astanti
Bojonegoro - Kita harus bersyukur bahwa kesenian tradisional seperti Ketoprak masih ada. Apalagi mendengar kelompok legendaris Ketoprak Siswo Budoyo masih manggung. Lebih bahagia lagi, ternyata masih ada orang yang mau menyaksikan dan bahkan mengundang mereka manggung.
Ya, sejak kemarin Sabtu (24/12/2016) hingga Minggu (25/12/2016) pagi ini, ketoprak asal Kecamatan Juwana Kabupaten Pati, Jawa Tengah itu manggung di Bojonegoro, tepatnya di acara tasyakuran khitan putra Jagabaya Desa Ngujo Kecamatan Kalitidu Kabupaten Bojonegoro.
Zaman boleh berubah, namun tidak dengan Siswo Budoyo. Begitulah kiranya yang bisa ditangkap dari pengakuan salah satu pemain ketoprak kelompok ini, Adi Prasetyo.
Kepada beritabojonegoro.com, Adi mengaku, Kelompok Siswo Budoyo masih mempertahankan pakem cerita dalam setiap pertunjukkannya. "Ketoprak Siswo Budoyo ini sudah berusia 29 tahun, namun saya baru bergabung selama 17 tahun," cerita Adi sembari menyempurnakan riasan wajahnya.
Saat ditemui itu, Adi tengah berperan sebagai SIlih Warna, saudara dari Kamandaka dalam lakon Kamandaka Adu Jago.
Adi bercerita sedikit pengalamannya selama berproses di Ketoprak Siswo Budoyo, hingga bisa menjadi seperti sekarang. Di kelompok ini, dia belajar gending, belajar bermain peran sekaligus juga berhias. Anggota Ketoprak Siswo Budoyo ini, katanya, berjumlah 75 orang. Yang terdiri dari pemain, penata panggung, penata suara, manager, dan juga sopir.
Memang, aku Adi, eksistensi Ketoprak mulai redup. Tetapi dirinya dan teman-teman tetap menerima job pentas di daerah Jawa Tengah seperti di Kabupaten Pati dan Rembang. "Di sana masih kental dengan nuansa adat Jawanya. Jadi setiap mereka menggelar sedekah bumi, kami diundang," ujarnya.
Dalam setahun, kata Adi, ada masa-masa full job, bahkan sampai sebulan full di bulan tertentu. Tapi kadang juga cuma lima kali dalam sebulan. Tergantung bulannya, apakah ada banyak hajatan atau ritual adat atau tidak.
Selama menjadi pemain bersama Ketoprak Siswo Budoyo, Adi merasakan sendiri bagaimana susahnya perjuangan mereka. Seringkali ketika mentas, tempatnya tidak layak. Jangankan untuk tidur, mereka berhias di atas kursi lantaran jalannya becek.
"Kalau untuk keluarga, saya melihat kondisi jauh dekatnya lokasi pementasan. Bila dekat selalu dimungkinkan untuk pulang, menengok anak istri," ujarnya.
Tetapi kalau lokasinya jauh, Adi mengaku seminggu sekali baru bisa pulang ke rumahnya di Pati.
Lakon Kamandaka Adu Jago ini, Adi menuturkan, berkisah tentang seorang pangeran yang diusir dari kerajaan karena berbuat salah. Pangeran ini akhirnya menjadi seorang rakyat biasa, melepaskan gelar kebangsawanannya dan beralih nama menjadi Kamandaka.
Kamandaka memiliki hobi sabung ayam. Melalui sabung ayam ini pula dia bertemu dengan saudara kandungnya yang lama pergi dan di kemudian hari menemukan jodoh.
"Sukanya menjadi pemain ketoprak itu selain bisa menambah ilmu, menambah teman, juga ikut menjadi bagian yang melestarikan ada kesenian tradisional," ujarnya.
Melestarikan kesenian tradisional ini juga merupakan pesan dari generasi Ketoprak Siswo Budoyo sebelum Adi. Bahwa ketoprak Siswo Budoyo harus tetap eksis. "Selain itu Ketoprak Siswo Budoyo juga memiliki pakem yang tidak boleh diubah meski sudah ada beberapa kreasi atas permintaan pasar, seperti penggunaan alat musik organ," lanjut Adi.
Dalam pentas di Kalitudu ini, Ketoprak Siswo Budoyo tampil dua kali, yakni pada siang hari pukul 13.00-17.00 WIB. Sedangkan untuk malamnya, mulai pukul 21.00 sampai 03.30 WIB.
"Kami juga harus merawat tubuh lantaran usia sudah tidak muda lagi. Sering masuk angin," katanya tertawa. (ver/moha)