Rabiah Adawiyah dan Air Mata Kesufiannya
Jumat, 27 Januari 2017 13:00 WIBOleh Khusnul Fithon
Oleh Khusnul Fithon
Ketika mendengar kata sufi, kerapkali kita teringat Jalaluddin Rumi. Padahal, ada seorang sufi lain yang kisahnya tak kalah menarik. Dialah seorang sufi perempuan, Rabiah Adawiyah.
Rabiah adalah anak terakhir dari ketiga empat bersadara yang semuanya adalah perempuan. Rabiah artinya empat, sesuai dia yang anak keempat. Rabiah binti Ismail al-Adawiyah nama lengkapnya. Dia lahir di kota Basrah sekitar tahun 713 M, pada malam hari di tengah-tengah keluarga yang taat pada tuhan.
Rabiah dilahirkan tepat ketika keluarganya mengalami krisis ekonomi hingga minyak untuk lampu-pun mereka tidak memiliki. Namun ayahnya adalah seorang yang zuhud. Bahkan ketika membutuhkan minyak untuk penerangan kepada tetangga ketika Rabiah lahir, sang ayah enggan meminta. Dia teringat pada janjinya tidak akan meminta bantuan selain kepda Tuhan.
Masa kelahiran Rabiah penuh dengan kedzaliman dan kemewahan Dinasti Umayah, banyak pemberontakan dan fitnah di mana-mana. Kondisi itu membuatnya kehilangan kedua orang tua.
Kemiskinan berkepanjangan zaman itu membuat Rabiah menderita. Dia menjadi budak untuk tetap bertahan hidup. Namun itu tidak mengurangi kedekatannya kepada Tuhan. Dia selalu bermunajat. Seperti ayahnya, dia hidip zuhud. Rabiah yakin bahwa suatu saat pertolongan Tuhan akan datang.
Di kalangan budak di lingkungannya, Rabiah ini menarik. Dia pandai bernyanyi dan memainkan beberapa alat musik. Kelebihan itu dimanfaatkan oleh majikannya yang kejam, rakus, dan gila harta dunia untuk mengeruk harta.
Namun karena Rabiah adalah perempuan yang sabar, dia menerima semua perlakuan kejam majikannya. Rabiah sadar betul dirinya hanyalah budak. Dimaki, disiksa, dilecehkan adalah hal biasa baginya.
Meski demikian, keyakinannya bahwa suatu saat pertolongan Tuhan akan datang, tidak hilang. Rabiah ttak henti-henti berdoa siang dan malam. Rabiah yakin Tuhan tidak akan menyia-nyiakan hamba yang menderita tapi selalu meminta pertolongan.
***
Suatu kali saat bermunajat, Rabiah mendengar bisikan gaib, ‘’Jangan engkau bersedih hati. Karena kelak di kemudian hari orang-orang salih akan cemburu melihat kedudukanmu.”
Bisikan itu menjadikan dia punya semangat baru. Semenjak itu, perubahan demi perubahan dalam hidup Rabiah mulai nampak. Sembari tetap melakukan tugas-tugas sebagai budak yang baik bagi majikannya yang dzalim, Rabiah semakin rajin bermunajat. Dia semakin tak lagi memperhatikan urusan duniawi.
Suatu ketika majikannya memergoki Rabiah saat sedang bermunajat. Sang majikan juga mengetahui perubahan demi perubahan yang signifikan terjadi pada diri Rabiah. Hingga akhirnya pertolongan dari Tuhan itu datang. Rabiah dimerdekakan. Majikannya tersentuh hatinya. Rabiah diperbolehkan tinggal bersama majikannya dan dianggap sebagai keluarga, atau memilih pulang kampung.
Ini adalah fase yang menarik dalam hidup Rabiah menurut saya , yakni setelah dia bebas dan kembali ke kampung halaman. Rabiah benar-benar memutuskan untuk meninggalkan segala kelezatan dunia. Dia memilih jalan hidupnya sendiri, yaitu menjadi wanita yang zuhud. Dia juga mengasingkan diri demi kecintaannya pada Tuhan.
Rabiah hadir di saat yang tepat, di tengah masyarakat yang hidup bergelimang harta dan gila dunia. Kehadiran Rabiah menjadi penyeimbang dalam masyarakat. Dia juga menyebarkan ajaran tentang cibta atau mahabbah kepada Tuhan.
Ada doa Rabiah yang paling menarik menurut saya, yang saya kutip dari sebuah buku. “Ya rabbi, bila aku menyembahMu karena aku takut pada nerakaMu, maka bakarlah aku di dalamnya. Dan bila aku menyembahmu karena berharap surga dariMu, maka jauhkanlah aku dari sana. Namun jika aku menyembahMu hanya demi Engkau saja, maka janganlah Engkau tutup keindahan abadimu dariku.”
Dari kisah sufir perempuan ini bisa kita ambil banyak hikmahnya. Di antaranya tentang keyakinan terhadap pertolongan Tuhan dan yakin pada diri sendiri. Karena untuk mencapai tujuan, butuh perjuangan dan pengorbanan dan juga penuh cobaan. (*)
----------------------------------
Penulis adalah persiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Agama Islam at-Tanwir Bojonegoro