Ki Hadjar, Sebuah Memoar
Kamis, 24 Agustus 2017 09:00 WIBOleh Muhammad Roqib *)
*Oleh Muhammad Roqib
Kemerdekaan yang kita dapatkan sekarang ini tidak lepas dari perjuangan para pahlawan terdahulu. Mereka dengan gigih, rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan nyawa sekalipun demi merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan dari penjajah.
Salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia itu adalah Ki Hadjar Dewantara. Kita mungkin mengenal Ki Hadjar hanya sebagai tokoh pendidikan, peletak dasar pendidikan bagi pribumi. Namun sebenarnya kiprah Ki Hadjar, sapaannya, selama masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia cukup besar, bukan hanya di bidang pendidikan saja.
Nah, melalui buku berjudul Ki Hadjar, sebuah memoar, penulis Haidar Musyafa, menggambarkan dan mengisahkan tokoh Ki Hadjar dengan apik. Ia menceritakan biografi Ki Hadjar seolah-olah hidup dan berjuang pada masanya.
Ia menceritakan masa kecil Ki Hadjar yang bernama Soewardi Soeryaningrat ketika masih berada di lingkungan keraton Puro Pakualaman. Saat itu keraton Puro Pakualaman dan Kesultanan Ngayoyogakarto berada di bawah bayang-bayang penguasa kolonial Belanda.
Ayah Ki Hadjar bernama Kanjeng Pangeran Harjo Soerjaningrat. Sedangkan, ibunya Raden Ayu Sajidah. Ki Hadjar lahir pada 2 Mei 1989. Pada masa itu kolonial Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Raffles.
Ki Hadjar atau Soewardi dididik dengan baik oleh kedua orangtuanya. Meski tinggal di lingkungan keraton, Soewardi selalu bermain dengan rakyat kebanyakan. Ia juga tidak mau diperlakukan layaknya priyayi pada umumnya.
Saat usia anak-anak, Soewardi mondok dan dididik oleh Kiai Haji Soleman Abdurrohman di daerah Kalasan. Soewardi nyantri selama beberapa tahun. Setelah itu, ia melanjutkan sekolah umum yang disebut Europeesche Lagere School (ELS). Sekolah itu mendidik anak-anak keturunan Belanda dan golongan priyayi. Soewardi sangat dekat dengan kakanya, Soerjopranoto.
Menginjak remaja, Soewardi getol belajar. Ia juga dikenal sebagai anak yang cerdas dan cemerlang. Ketika itu, dr Wahidin Soedirohusodo, seorang tokoh nasional, berkeliling nusantara mengajak-anak cerdas dari kalangan pribumi untuk belajar di sekolah STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yakni sekolah calon dokter. Dr Wahidin ingin mendidik dan mengajar anak-anak cerdas dari kalangan pribumi agar mereka kelak bisa meningkatkan derajat bangsanya.
Pada 1905-1907, Soewardi hijrah ke Batavia, pusat pemerintahan Kolonial Belanda. Semasa sekolah di STOVIA inilah Soewardi bertemu dengan Tjipto Mangungkusumo, seorang pelajar yang cerdas dan pemberani, serta Douwes Dekker, seorang keturunan Indo Belanda, yang gigih memperjuangkan nasib pribumi. Saat itu, Soewardi mulai mengenal dunia pergerakan dan berjuang bersama para pelajar lainnya. Soewardi ikut kongres pertama Boedi Utomo di Yogyakarta pada 3-5 Oktober 1908. Namun, Soewardi tidak sampai lulus sekolah STOVIA itu.
Kehidupan rakyat jelata yang sengsara di bawah kekuasaan Belanda membuat Soewardi gigih berjuang membela hak-hak inlander atau pribumi. Ia aktif berjuang lewat Boedi Utomo yang digerakkan oleh kalangan bangsawan dan priyayi itu.
Namun, Soewardi lebih banyak berdiskusi dan berteman dengan Tjipto Mangungkusumo dan Douwes Dekker. Ia kemudian mendirikan Indische Partij pada 25 Desember 1912. Indische Partij ini berjuang membela kepentingan pribumi. Namun, Indische Partij ini tidak direstui pemerintah kolonial Belanda.
Soewardi juga aktif menulis dan menjadi jurnalis di Surat Kabar Harian De Expres. Ia seringkali menulis kritikan tajam pada Kolonial Belanda yang bertindak sewenang-wenang pada Pribumi. Ia menulis artikel pada 19 Juli 1913 yang berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was” atau “Seandainya Aku Seorang Belanda”. Artikel itu mengkritik kolonial Belanda yang merayakan pesta kemerdekaan dari penjajahan Spanyol di tanah jajahan Hindia Belanda.
Karena tulisan-tulisannya yang kritis itu, Soewardi ditangkap oleh kolonial Belanda. Begitu pula Douwes Dekker dan Tjipto. Soewardi menjalani hukuman buang di Pulau Bangka. Saat berstatus sebagai tahanan politik kolonial Belanda itu, Soewardi menikah dengan Soetartinah.
Soewardi, Tjipto, dan Douwes Dekker, kemudian menjalani hukuman buang di negeri Belanda. Soewardi saat itu menjalani hukuman buang bersama istrinya, Soetartinah. Saat itulah kehidupan yang dijalani Soewardi dan Soetartinah cukup berat. Tinggal di negeri orang sebagai tahanan politik.
Setelah beberapa tahun menjalani hukuman buang di negeri Belanda, Soewardi akhirnya dibebaskan dan kembali ke Hindia Belanda. Namun, kegigihannya memperjuangkan pribumi tak kendur. Ia aktif kembali di Indische Partij. Namun, saat itu partai pecah. Soewardi mulai berpikir untuk berjuang melalui dunia pendidikan.
Soewardi lalu mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta. Sistem pendidikan di Taman Siswa sangat berbeda dengan pendidikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda. Ia menerapkan pendidikan bagi kalangan pribumi yang mengajak berpikir yang selaras dengan nilai-nilai sosial dan budaya bangsa sendiri. Ia menerapkan tiga semboyan yakni ; Ing Ngarso Sung Tuladha, maksudnya guru adalah pendidik yang memberi teladan, Ing Madya Mangun Karsa, maksudnya pendidik harus membangun dan menumbuhkan anak didiknya, serta Tut Wuri Handyani, maksudnya seorang guru adalah pendidik yang menuntun dan memberikan arah yang benar bagi anak didiknya.
Murid Taman Siswa saat itu cukup banyak. Bahkan, dalam waktu singkat Taman Siswa mempunyai cabang di 60 daerah. Namun, perkembangan Taman Siswa yang pesat itu terus dipantau pergerakannya oleh Belanda. Kemudian, pada 23 Februari 1928, Soewardi memutuskan mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia mengabdikan hidupnya untuk mendidik anak-anak pribumi.
Tetapi saat itu situasi politik di Hindia Belanda memang cukup genting. Terjadi pergolakan fisik. Kolonial Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang. Namun, tak lama kemudian, Jepang menyerah kepada sekutu setelah Nagasaki dan Hiroshima di Bom Atom. Pada Jumat, 17 Agustus 1945, kalangan muda pergerakan mendesak Soekarno dan Hatta, memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat bersuka cita menyambut kemerdekaan itu. Namun, sukacita itu tidak berlangsung lama. Sebab, kolonial Belanda ingin mencengkeramkan kekuasan lagi di Indonesia dengan menumpang sekutu. Belanda melancarkan agresi militer satu dan dua. Rakyat Indonesia dan tentara berjuang habis-habisan mempertahankan kemerdekaan.
Dalam situasi itu, Ki Hadjar juga ikut berjuang bersama Soekarno dan Hatta. Beberapa kali Soekarno bertemu dengan Ki Hadjar membahas soal sistem pendidikan yang cocok untuk Republik Indonesia yang baru berdiri. Pada masa pemerintahan Soekarno, Ki Hadjar didapuk sebagai Menteri Pengajaran.
Ki Hadjar terus berjuang melalui jalur pendidikan. Ia mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia melalui pendidikan dengan nilai-nilai keluhuran budi pekerti dan budaya bangsa Indonesia. (*kik)