32 Khutbah Jumat Cak Nur
Sabtu, 02 Juni 2018 09:00 WIBOleh Muhammad Roqib
32 Khutbah Jumat Cak Nur
Oleh Muhammad Roqib
Bagaimana bila khutbah yang dilakukan setiap hari Jumat ditulis dalam sebuah buku?. Biasanya jarang sekali khutbah yang disampaikan oleh imam ditulis, apalagi dijadikan sebuah buku. Nah, ini ada sebuah buku berjudul 32 Khutbah Jumat Cak Nur, Menghayati Akhlak Allah dan Khutbah-Khutbah Pilihan Lainnya.
Khutbah itu disampaikan oleh Cak Nur atau Nurcholish Madjid, tokoh intelektual Islam yang pemikiran dan pandangan-pandangan keislamannya sudah tidak diragukan lagi. Cak Nur merupakan salah satu cendekiawan Islam yang menelurkan ratusan karya buku yang berbobot, orisinal.
Cak Nur semasa hidupnya selalu menyempatkan menyampaikan khutbah pada saat salat Jumat di Masjid Pondok Indah, kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Masjid itu sebenarnya adalah sebuah ruko (rumah toko) yang diubah menjadi masjid dan diadakan salat Jumat.
Dalam khutbah yang disampaikan di Masjid Pondok Indah ini Cak Nur lebih banyak menyampaikan tentang keimanan dan ketakwaan dalam Islam. Terkadang ia mengaitkan peristiwa atau momentum seperti bulan Ramadan dengan pesan-pesan dalam Al Quran. Pandangan dan pemikirannya sangat jernih, orisinal, dan sangat berbobot.
Pada tulisan khutbah awal misalnya ia menceritakan tentang kebiasaan khutbah pada masa Nabi Muhammad Saw dahulu. Pada masa itu, kata dia, Nabi Muhammad Saw selalu menyandarkan pedang atau tombak di bahu beliau karena waktu itu umat Islam adalah komunitas militer. Jadi pada waktu Nabi Muhammad menjadi khatib Jumat, Nabi tampil gagah sekali di atas mimbar sambil menyandarkan pedang atau tombak di bahu beliau.
Praktik itu sekarang masih ada di masjid-masjid lama, hanya pedang dan tombaknya diganti dengan tongkat. Khatib membawa tongkat yang biasanya diukir begitu bagus dan dipelitur dengan indah.
Setiap kali menyampaikan khutbah, Cak Nur selalu menyelipkan ayat-ayat Al Quran. Ia menyampaikan, seluruh ayat Al Quran sendiri sebagaimana tergambar dalam ayat-ayat pertama Surah Al Baqarah dirancang sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
Pada khutbah selanjutnya, Cak Nur mengulas tentang makna dan pentingnya zikir. Cak Nur menyampaikan, zikir kepada Allah tidak mengenal ruang dan waktu. Selamanya dan di mana saja kita harus ingat kepada Allah Swt. Bila kita lupa kepada Allah, Allah akan membuat kita lupa akan diri kita sendiri. Hanya dengan ingat Allah, kita mengetahui dan menginsyafi bahwa hidup ini berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Itulah makna ungkapan yang sering kita baca, innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Cak Nur mengungkapkan, semua orang ingin kembali kepada Tuhan. Hidup ini adalah perjalanan ingin kembali. Kembali ke asal. Kita semua ingin kembali pulang. Pulang itu adalah suatu gejala psikologis, bukan gejala fisik. Kalau seseorang tidak berhasil pulang. dia disebut tersesat. Ketersesatannya itu tidak bisa ditebus. Meskipun dia ditampung di rumah yang mewah dari rumahnya sendiri, dia akan tetap sengsara.
Dalam bulan puasa, Cak Nur banyak menyampaikan khutbah tentang makna puasa, keimanan, dan ketakwaan. Ia mengungkapkan, manusia adalah pembuat kesalahan, namun tidak berarti bahwa nature manusia adalah jahat. Kejahatan masuk melalui kelemahannya, sebagai jendela bagi masuknya kejahatan melalui proses yang disebut tergoda.
Dalam bahasa Arab, dosa atau kejahatan disebut dengan zhulm. Orang yang jahat disebut dengan zhalim. Zhulm berarti gelap, karena kejahatan meninggalkan bercak-bercak hitam dalam hati yang semula bersifat nurani (bersifat terang). Jika seseorang terlalu banyak membuat kejahatan, maka bercak-bercak hitam pada hatinya menjadi penuh bahkan bisa tertutup sama sekali sehingga hatinya tidak lagi disebut nurani tetapi zhulmani. Ini merupakan sebuah kesengsaraan. Namun, Allah Mahakasih kepada umat manusia. Maka Allah menyediakan satu bulan tidak hanya sebagai bulan suci tetapi juga sebagai bulan penyucian yakni bulan Ramadan.
Cak Nur menyampaikan dalam khutbahnya, jenjang bulan puasa Ramadan itu ada tiga bagian. Sepuluh hari pertama di bulan puasa adalah jenjang fisik (jasmani). Di mana kita masih terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan secara jasmani pada kebiasaan baru, menyangkut makan, minum, dan meliputi persoalan batal atau tidak batalnya puasa.
Pada sepuluh hari yang kedua puasa kita memasuki jenjang nafsani (psikologis atau kejiwaan). Kalau pada jenjang yang pertama bersifat keragaan, maka jenjang yang kedua ini kita dilatih menahan hawa nafsu. Bukan hanya lahirnya yang puasa, melainkan jiwa atau batinnya juga puasa menahan hawa nafsu seperti marah-marah, menggunjing orang lain, dan lainnya.
Pada sepuluh hari yang ketiga kita memasuki jenjang ruhani. Ini adalah pencapaian puasa yang paling tinggi. Dalam ranah ini kita memasuki sesuatu yang sulit sekali diterangkan karena memang tidak bisa diterangkan. Oleh karena itu kemudian diungkapkan melalui simbol-simbol, metafora-metafora, termasuk masalah laylatul qadr.
Suatu ketika, ketika Rasulullah Saw bersabda kepada umatnya yang tengah berkumpul di masjid menunggu datangnya laylatul qadr, beliau mengatakan,”Apa yang kamu tunggu-tunggu Insya Allah malam ini datang, karena aku telah melihat dalam visi (ruqyah) bahwa akan ada hujan lebat kemudian aku belepotan lumpur dan basah kuyup oleh air”. Kemudian, umat yang berkumpul itu pun membubarkan diri. Pada malam itu memang terjadi hujan lebat. Karena bangunan masjid Madinah pada zaman nabi sangat sederhana, atapnya terbuat dari daun kurma, maka sengan sendirinya air hujan pun masuk ke lantai masjid yang terbuat dari tanah.
Umat yang pada saat kejadian tersebut melihat apa yang dikatakan Nabi. Karena beliau salat dalam kuyup. Sementara muka dan sekujur tubuhnya berlumur tanah liat. Lalu apa yang dimaksud laylatul qadr itu oleh Nabi?. Karena Nabi mengatakan,”Itulah yang kau tunggu-tunggu.”
Belepotannya Nabi dengan lumpur dan basahnya Nabi dengan air sebenarnya adalah suatu peringatan kepada kita bahwa jenjang paling tinggi dari pengalaman ruhani itu ialah kalau kita sudah kembali ke asal kita. Darimana kita berasal?. Dari tanah dan air. (*/kik)