Film Life of Pi Karya Ang Lee
Apa yang Dikatakan Harimau di Tengah Laut?
Jumat, 25 Desember 2015 19:00 WIBOleh Vera Astanti
Oleh Vera Astanti
Life of Pie adalah film garapan sutradara ternama asal Taiwan, Ang Lee. Film-film Ang Lee yang pernah kutonton lainnya adalah HULK (tentang makhluk ujicoba yang dicoba hancurkan dan diciderai kemanusiaannya) dan Lust, Caution (tentang perjuangan gerilya membebaskan China dari pendudukan Jepang).
Film Life of Pie ini diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama karya Yann Martel (2001). Sebagai sebuah novel, tentu saja unsur fiksi amat dominan di sini. Bila dibilang nyata, sulit dipercaya tentunya, terlebih ketika kita menyaksikan bagaimana kecelakaan laut itu hanya menyisakan seorang saja, Pi, dan beberapa binatang yang melesat, terempas, masuk pada sekoci yang membawa tubuh Pi. Amat kentara adegan itu begitu dibuat-buat.
Adalah seorang lelaki muda bernama Patel, yang gemar mengamati perilaku binatang. Terlebih, ayahnya adalah pemilik sebuah kebun binatang. Patel seperti kesirep pada binatang-binatang itu. Sampai-sampai ia tak butuh jam unutk mengetahui waktu. Gerak waktu, pagi, waktu sarapan, dan berangklat sekolah ia tandai dari perilaku binatang-binatang itu. Patel biasa dipanggil dengan Pi, yang akhirnya menjadi judul film ini.
Dari binatang-binatang itu, ada satu yang kelak menjadi bidikan cerita. Adalah Richard Parker (bukan Peter Parker Spider Man tentunya), seekor harimau Bengali yang pernah suatu ketika Pi ingin memberinya makan dengan tangan terbuka di kandangnya. Sangkanya, binatang itu seperti manusia, sama-sama makhluk Tuhan, punya hati dan perasaan sayang. Sang ayah menegurnya, menganggap ulahnya itu gila, dan bahwa binatang tetaplah binatang, tak punya ikatan emosi dalam kepalanya.
Pi sejak kecil dididik berenang dengan baik oleh pamannya, di kolam kolam ranang terbaik di India. Kepiawaiannya berenang ini nanti akan menemui fungsinya di tengah cerita.
Suatu ketika, karena entah suatu apa, keluarga Patel memutuskan berlayar ke Kanada dan membawa semua binatang-binatangnya. Namun naas, pada malam hari di tengah samudra Pasifik, mereka dihantam badai besar. Dalam situasi kalang kabut, Pi membuka kandang-kandang binatang itu dan semua terlepas. Badai begitu besar dan akhirnya menenggelamkan semua yang ada. Yang selamat Pi seorang, dalam sebuah sekoci bersama seekor zebra. Paginya ketika badai reda, seekor orang utan datang mendekat dengan berselancar pada beberapa tandan pisang. Bertambahlah kawan Pi. Tak dinyana, seekor serigala juga ikut dalam sekoci itu, tersenmbuyi di sebuah ruang dalam sekoci itu. Juga yang lebih mengagetkan, Parker juga. Mereka berlima terombang-ambing di samudra raya tanpa arah.
Meski dalam sebuah sekoci, hukum rimba tetap berlaku. Binatang-binatang itu kerah dan menyisakan harimau Bengali itu dan Pie seorang. Ketika dua makhluk ini yang tersisa, meski dalam suasana yang mengancam, cerita fantastis, miris, menggelikan, dan mengharukan, mereka harus bersinergi bertahan hidup di tengah laut.
Pi adalah seorang spiritualis, meskipun agamanya tidak jelas. Ia merasakan tenteram saat salat, saat membaca al-Kitab, dan berhadapan dengan Dewa-Dewa Hindu. Maka, petualangannya di tengah samudra bersama Parkerpun menjadi sebuah perjalanan spiritual. Berbagai situasi batin dilaluinya. Kesepian karena ditinggal keluarga dan segala kepemilikannya, bencana alam yang mengancam nyawanya, ketakutan, kemarahan, kasihan, hingga situasi ketidakberartian sebagai sebuah pribadi di tengah hampa raya lautan maha luas. Ia menyapa Tuhan dalam situasi-situasi itu. Hingga tibalah ia pada situasi paling mentok, pasrah. Yakni, ketika badai menerjang lautan kembali. Ia sapa Tuhan Sang Maha Besar. Ia satukan, seperti menyusun sebuah puzle, kebesaran Tuhan yang tercerai berai oleh agama.
Bersama Parker ia terjengkang hampir binasa, namun pada situasi itulah ia merasakan keindahan bersentuhan dan berdekatan dengan Parker. Rasa sayang, keterharuan, dan cinta karena senasib sepenanggungan muncul dalam sanubari Pi. Ia merasa tak bisa bertahan di tengah laut selama 227 hari tanpa kehadiran Parker. Bangunan jiwa itu begitu kuat tertanam dalam diri Pi. Hingga suatu ketika, ia histeris karena dikagetkan dengan kejadian yang meluluhlantakkan bangunan itu. Parker, ketika mereka terdampar di sebuah pulau, pergi begitu saja meninggalkannya. Pada akhirnya, ia kembali teringat dengan apa yang dikatakan ayahnya dulu, bahwa binatang tetaplah binatang. Ia tak memiliki emosi apapun dengan manusia.
Life of Pie mengingatkan saya pada film India era 90-an yang kerap menampilkan keselarasan manusia-binatang. Manusia dengan gajah, ular, dan kuda hidup dengan cinta kasih nampak di film-film itu. Namun Life of Pie seperti menyangkal hal itu. Hanya saja, bukan hubungan kedua makhluk beda jenis itu yang ingin dijadikan inti barangkali, melainkan bangunan spiritual. Ketersingkapan, kesadaran, yang Ilahi sifatnya, nampaknya, dari pembacaan atas Life of Pi, ternyata harus melalui berbagai situasi yang mencekam, melibatkan emosi, kemarahan, ketakutan, kebahagiaan, dan kepasrahan yang semuanya itu benar-benar optimal atau mentog.
Secara visual, Life of Pi benar-benar wonderful. Efek-efek cahaya dari ragam makhluk lautan di tengah malam berbintang sungguh memukau. Kita tak pernah sekalipun bertanya-tanya apakah semua itu buatan atau asli. Kita juga tak sesekali mengumpat seperti bila kita menonton ftv Indosiar). Semua itu hadir seakan-akan memberikan sentuhan di hati kita tentang sebuah kebesaran yang tak terukur. Ada kekuatan dengan k besar yang tak tertangkap oleh k kecil kita ketika k besar itu hadir di tengah ringkih tubuh kita yang terombang ambing di lautan maha luas.
Hanya saja, ada setitik kerinduan dari film India ketika tidak menemui tak dung tak dung dan tarian gemulainya. Sekali yang dihadirkan di film ini, tak begitu kuat, seakan hanya syarat saja. Mungkin karena ini karena faktor penggarapnya yang bukan orang India. Meskipun, di film yang juga digarap oleh non-India lainnya, kita menyaksikannya (film Oscar terbaik malah, Sumdolg Millionare, garapan Danny Boyle. Seperti film India kebanyakan, lagunyapun, Jai Ho, menjadi hits. )
Sebagai seorang penonton atau pembaca kita boleh percaya atau tidak percaya, sebagaimana yang ditawarkan Pi dalam ending film ini, kepada seorang pewawancaranya. Namun yang jelas, pengalaman batin itu tidak dapat kita tolak, sebagai situasi jiwa yang tentu saja pernah dialami oleh setiap manusia di belahan bumi manapun. Namun, apakah kita perlu mengalami jungkir balik di tengah samudra raya terlebih dahulu? Mungkin iya. Maka, kehidupan Pi di tengah laut bersama Parker itu, menjadi bahan refleksi buat kita.