Resensi Film Cairo Time (2008)
Sebuah Cerita di Peradaban Petang
Jumat, 13 Mei 2016 18:00 WIBOleh Nasruli Chusna
Oleh Nasruli Chusna
KAIRO Ibu kota Mesir, adalah kota malam. Kehidupan dan peradaban manusia di sana ada di kala petang. Jangan harap dapat menjumpai pertokoan atau pusat keramaian lain saat pagi datang. Mereka baru akan buka di atas jam 11 siang.
Orang-orang yang biasa disiplin bangun pagi rata-rata akan terbawa ketika sampai negara fir'aun itu. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Juliette (diperankan oleh Patricia Clarkson) dalam Cairo Time. Pada satu adegan dia tampak sangat kaget, menjumpai jam menunjukkan pukul 2 siang pada bangun tidurnya.
Juliette adalah seorang jurnalis majalah fashion dari New York. Dia datang ke Kairo untuk bertemu suaminya Mark Peter. Suaminya yang seorang relawan kemanusiaan sedang bertugas di Gaza. Karena berbagai kesibukan Mark tak dapat menemani Juliette, padahal acara berlibur mereka sudah direncanakan sejak lama.
Juliette sangat terpesona dengan keindahan peninggalan sejarah di Mesir. Tapi di sisi lain dia juga merasa tidak nyaman dengan tabiat orang Kairo. Naik motor sembarangan, memandang dengan tatapan penuh hasrat, dan kurang menjaga kebersihan adalah hal yang tidak disukainya.
Untung suaminya mengirim Toriq (diperankan Alexander Siddiq). Seorang pria Mesir yang ramah, humanis dan pandai Bahasa Inggris. Toriq bertugas menjadi guide bagi Julliete. Tak jarang Juliette mendatangi rumah Toriq lantaran kesepian. Suami yang sangat dirindukannya tak kunjung datang.
Kenyamanan demi kenyamanan dirasakan Juliette dari sosok Toriq. Hingga rasa lebih dari sekedar teman muncul dari keduanya. Juliette bahkan mengundang Toriq minum teh di kamar hotelnya. Sebuah adegan ciuman dan tatapan penuh arti muncul setelahnya. Mereka tampak saling mengasihi.
Di tengah rasa sayang yang tengah bersemi diantara keduanya itulah Mark muncul. Tiba-tiba saja Mark menemui Julliete dan Toriq di lobby hotel. Antara kaget, rindu dan tidak percaya perasaan Julliete ketika itu.
Tapi dia bisa segera menguasai dirinya dan memeluk suaminya. Toriq pun demikian. Dia segera memposisikan diri sebagai orang yang bekerja pada Mark. Dia mendapat ucapan terima kasih tak terhingga dari pasangan itu.
Sang penulis dan sutradara, Rubi Nada dari Kanada, hendak menunjukkan Kairo yang sebenarnya. Dan diiringi oleh sayup-sayup lagu Umi Kulsum, dia berhasil melakukannya. Nuansa Kairo terasa sangat hidup. Juga bagi orang yang melihat film itu.
Di sisi lain dia juga ingin memotret kepedihan di Kamp pengungsian Gaza, di mana selalu bergolak ketegangan antara Palestina dan Israel. Sepasang suami istri seperti Mark dan Julliete harus mengorbankan momen-momen penting, seperti pernikahan anak mereka, waktu-waktu bersama dan masa senja. (rul)
foto salah satu adegan di Cairo Time. (sumber:filma.com.tr)