Resensi Film The Raid 2: Berandal
Makin Mendebarkan dengan Tambahan Unsur Sensual
Minggu, 17 Juli 2016 07:00 WIBOleh Nasruli Chusna
MENGIKUTI tiap adegan film The Raid 2; Berandal, ibarat menempuh perjalanan panjang yang mendebarkan. Film bergenre action ini merupakan sekuel dari The Raid 1 yang dibintangi oleh Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan. Kedua ahli beladiri itu juga selagus koreografer laga pada film berdurasi 2.30 menit itu.
Iko Uwais yang berperan sebagai Yuda, menjalankan tiga karakter dalam waktu bersamaan. Sebagai seorang ayah, polisi dan anggota geng. Yuda yang berhasil keluar dari gedung berdarah, pada The Raid 1, berjumpa dengan seorang perwira polisi bernama Munawar (Cok Sembara). Atas rekomendasi dari kakaknya, Tama, Munawar dianggap sebagai aparat penegak hukum yang masih bisa dipercaya.
Munawar minta Yuda jadi mata-mata di grup Bangun, salah satu geng yang berkuasa di Ibu Kota. Agar bisa masuk ke grup Bangun Yuda dimasukkan ke penjara. Di sana dia berjumpa dengan Uco, putra Bangun yang lebih dulu masuk ke jeruji besi. Melalui beberapa insiden Yuda berhasil memikat Uco. Bahkan Uco menganggap telah berhutang nyawa pada Yuda.
Salah satunya adalah ketika insiden maut dalam genangan lumpur. Adegan yang membuat jantung berdegup kencang dirundung ketegangan. Uco diserang oleh musuh kelompok bapaknya. Uco sendirian. Dan dia harus menghadapi lawan yang jumlahnya lebih banyak. Pada kesempatan itu Yuda hadir membantu. Dalam satu kesempatan Yuda berhasil menghadang hujaman pisau yang hendak mengenai Uco.
Adegan perkelahian dalam lumpur ini sungguh mengesankan. Kesan dramanya sungguh terasa. Padahal ini adalah film action. Beberapa adegan yang ditampilkan secara slow motion cukup membuat emosi penonton teraduk. Pilihan lumpur sebagai setting perkelahian sungguh cerdas. Tidak seperti pada film pertama dalam gedung pengap dan tertutup. Pada lumpur itu identitas pencak silat Indonesia juga muncul.
Meski demikian ada beberapa adegan juga yang terasa janggal. Seperti halnya adegan perkelahian pembunuh bayaran yang diperankan oleh Yayan Ruhiyan. Ditampilkan Yayan menghadapi pembunuh bayaran dari kelompok yang berseteru dengannya. Mengejutkan ketika mengetahui latar belakangnya adalah tumpukan salju. Sejak kapan di Jakarta turun hujan salju?
Selain itu adegan kejar-kejaran dalam mobil. Uco yang tidak sabar menduduki posisi puncak, akhirnya membunuh ayahnya sendiri, Bangun. Mengetahui hal itu beberapa anak buah setia Bangun terlibat perselisihan dengan Uco yang didukung oleh seteru ayahnya, Bejo. Dan aksi kejar-kejaran pun terjadi dengan sesekali terdengar bunyi tembakan.
Aksi kejar-kejaran dalam mobil itu sangat lancar. Tanpa terhambat oleh lampu merah. Kemacetan yang jadi pemandangan lumrah di ibu kota juga tidak tampak. Dengan leluasa para tokoh beradu teknik beladiri. Adegan perkelahian antara mobil sedan dan sebuah motor sport juga kurang tebal. Jika ditambah 2 atau 3 motor lagi tentu ketegangan penonton akan lebih terasa.
Menyimak keseluruhan adegan dan cerita pada film ini, sungguh patut untuk ditonton. Apalagi bagi yang rindu pada film laga era tahun 90-an. Bintang laga pada era itu seperti Berry Prima, George Rudy dan Adfend Bangun, nuansanya dapat kita rasakan. Bahkan lebih segar dan mendebarkan.
Gareth Evan makin membuat kita berdebar dengan tambahan unsur sensual. Dia memasukkan karakter Hammer Girl, diperankan oleh si cantik Julie Estelle. Pertama kali menjumpainya berperan sebagai pembunuh sungguh mendebarkan. Bisa dikatakan dia adalah pembunuh yang sangat cantik. Jauh dari karakter tokoh film yang diperankannya sebelumnya seperti Alexandria dan Kuntilanak. Bisa dibilang dia cukup berhasil berperan sebagai hummer girl.
*Jurnalis BBC, menyukai buku dan film