Resensi Film Tanah Surga Katanya
Sejauh Mana Kita Melakukan yang Terbaik untuk Negeri?
Sabtu, 13 Agustus 2016 12:00 WIBOleh Vera Astanti
Oleh Vera Astanti
“Orang bilang tanah kita surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman
tapi kata dokter dokter intel belum semua rakyat sejahtera banyak pejabat yang menjual batu dan kayu untuk membangun surganya sendiri”
BOSAN dengan film penuh fantasi dan keglamoran? Di bulan Agustus ini luangkan waktu Anda untuk nonton Tanah Surga, Katanya. Film ini secara perlahan akan mengetuk sisi - sisi nasionalisme kita. Film yang diproduseri oleh Dedy Mizwar, Gatot Prajamusti, dan Bustal Nawai serta disutradari oleh Herwin Novianto ini diputar di bioskop Indonesia pada tahun 2012.
Hasyim (diperankan oleh Fuad Idris), seorang veteran, getol menceritakan perjuangannya dulu melawan Malaysia kepada kedua cucunya. Dia tinggal di Pulau Kalimantan Barat, tepatnya di perbatasan pantara Indonesia dan Malaysia. Kehidupan serba pas-pasan itu tidak membuatnya membuang kecintaannya terhadap negeri Indonesia.
Salman (diperankan oleh Osa Aji Santoso) dan Salina (diperankan oleh Tissa Biani) harus berpisah lantaran Salina ikut ayahnya, Haris (diperankan oleh Ence Bagus) ke Malysia. Sedangkan Salman, sang kakak enggan meninggalkan kakeknya seorang diri. Salman memutuskan untuk tetap tinggal di pelosok Kalimantan.
"Aku mengabdi bukan untuk pemerintah, tetapi untuk negriku sendiri, bangsaku sendiriku," ucap kakek Salman dengan lantang ketika anaknya menanyakan apa yang dia dapat dari pemerintah setelah berjuang selama ini.
Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu.
Lagu berjudul kolam susu yang dipopulerkan Koes Plus ini menjadi soundtrack film ini. Sekaligus lagu ini yang paling sering terdengar di radio dalam film ini. Dan menjadi lagu kebanggan di sekolah. Karena lagu ini yang mereka tahu. Bukan Indonesia raya.
Film ini akan menyentil kita semua. Kita yang sukanya mengeluh ini itu, harga kebutuhan pokok mahal dan pendidikan yang kurang. Dalam film ini kita akan disuguhi bahwa di daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia sana, ebuah bangunan sekolah bisa seperti kandang, belum lagi atap dan lantainya yang jebol. Gurunya pun bisa dihitung jari dan merangkap beberapa kelas. Anak-anaknya, bahkan tidak tahu bendera negerinya sendiri.
Bagaimana dengan fasilitas kesehatannya? Berada di pelosok seperti itu, sangat susah untuk mencari rumah sakit atau pusat kesehatan lainnya. Hanya ada satu dokter (diperankan oleh Agus Ringgo) di perbatasan itu, yang datang dari kota.
Seluruh aktivitas perekonomian pun menggunakan mata uang ringgit dan bukan rupiah. Diceritakan juga banyak warga yang berpindah warganegara Malaysia. Hidup mereka jauh lebih makmur ketika pindah ke Malaysia. Hal inilah yang dilakukan oleh ayah Salman dan Salina.
Apalagi masalah telekomunikasi. Sinyal hape susahnya setengah mati. Tidak ada yang namanya anak-anak sibuk dengan gadgetnya. Atau orangtua yang lebih asyik mengobrol dengan teman-teman arisan facebooknya. Di film ini semua orang bergerak, anak-anak setelah sekolah banyak bekerja. Tidak ada yang melarang. Tidak ada namanya perlindungan anak di sini. Mereka harus bekerja untuk bertahan hidup. Menjadi kuli pasar, menjual barang dagangan ke Malaysia. Perjalanan berkilo-kilometer ditempuh dengan jalan kaki untuk sampai ke pasar Malaysia. Sedangkan komunikasinya menggunakan radio untuk telekomunikasi.
Tanah Surga Katanya, 71 tahun Indonesia telah merdeka. Perjuangan panjang nan melelahkan itu rupanya belum selesai. Terpampang daratan dan lautan luas yang perlu dijaga. Namun ketimpangan-ketimpangan masih saja terjadi. Daratan dan lautan yang begitu luas, banyak sekali ketidakmerataan soal kesejahteraan. Baik dari segi kesehatan maupun pendidikan.
Menonton film ini akan membuat kita bertanya-tanya sebesar apa kita sudah bersyukur dan sejauh mana kita melakukan yang terbaik untuk negeri ini. Untuk tanah ini. (ver/moha)