Legalitas Nikah Saat Umrah di Makkah
Minggu, 06 September 2015 20:00 WIBOleh Drs. H. Sholikhin Jamik, SH. *)
*Oleh Drs. H. Sholikhin Jamik, SH.
Bila kita cermati, sekarang ini banyak travel biro Umrah yang menawarkan paket nikah di Makkah. Dengan slogan “ Menikah di Masjidil Haram tepatnya di depan Ka’bah di hadapan Hajar Aswad ( Batu Hitam yang pernah di kecup oleh Rosul) adalah dambaan setiap Muslim, “ bahkan sudah disertai dengan persyaratan yang harus dipenuhi sebagai berikut :
- Pengurusan surat N1, N II, N IV dan N V di kelurahan setempat
- Surat pengantar dari KUA setempat yang menerangkan bahwa kedua mempelai akan menikah di Masjidil Haram (Arab Saudi)
- Pass photo 2×3 = 6 lembar, 3X4 = 6 lembar untuk masing-masing mempelai
- Biaya yang termasuk dan tidak termasuk dalam harga paket, sama seperti yang terdapat pada paket umroh.
- Biaya paket pernikahan $ 750 (sudah termasuk buku nikah RI)
- Dokumen persyaratan di atas diserahkan paling lambat 1,5 bulan sebelum keberangkatan
- Calon mempelai wajib membuat surat pernyataan menikah di Masjidil Haram yang ditandatangani oleh orang tua calon mempelai wanita yang ditujukan kepada KJRI, dikirim selambat-lambatnya 1 bulan sebelum berangka
- Keterangan status pernikahan wajib dilampirkan ( sumber dari brosur paket nikah di Masjidil haram, Shabilla Wisata).
Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah nikah di Makkah punya legalitas? Bukankah dalam UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diatur bahwa yang berhak melakukan pencatatan pernikahan bagi yang beragama Islam adalah KUA. Apakah di luar negeri ada KUA ?. Sementara ada teman kuliah S2 bercerita bahwa ketika mau mencatatkan pernikahan yang dilakukan di hadapan Ka’bah. Setelah di Tanah Air, oleh KUA setempat tidak mau mencacat tapi disuruh nikah ulang kalau tidak mau melakukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur perkawinan warga negara Indonesia yang berada di wilayah NKRI maupun WNI yang berada di luar Indonesia. Baik perkawinan antara WNI dengan WNA maupun antara WNI dengan WNI di luar negeri. Ketentuan ini diatur dalam pasal 56 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang ini.
(2) Dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Jadi perkawinan yang dilakukan di luar negeri itu dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan Undang-undang Perkawinan.
Apabila perkawinan itu dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan, tetapi bagi WNI melanggar ketentuan Undang-undang Peerkawinan, maka perkawinannya itu dinyatakan tidak sah.
Bagi perkawinan yang dilakukan di luar negeri maka bagi suami isteri tersebut sesudah kembali ke Indonesia dalam jangka waktu satu tahun berkewajiban mendaftarkan surat perkawinannya di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka dan bagi yang beragama Islam di KUA Kecamatan.
Untuk lebih mempermudah mekanisme pencatatannya bagi mereka yang beragama Islam telah ada Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Luar Negeri RI Nomor : 589 Tahun 1999, Nomor : 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan WNI di Luar Negeri yang dijabarkan dengan Keputusan Bersama DIRJEN BIMAS ISLAM dan URUSAN HAJI dengan DIRJEN PROTOKOL dan KONSULER Nomor : 280/07 Tahun 1999, Nomor : D/447 Tahun 1999 tentang Petunjuk Tekns Pelaksanaan Perkawinan WNI di Luar Negeri, menyatakan bahwa pelaksanaan pencatatan dilakukan di KBRI atau Perwakilan Indonesia di Luar Negeri, dicatat oleh PPN atau Penghulu yang diangkat dan ditunjuk khusus untuk mencatat peristiwa nikah.
Dengan adanya SKB tersebut, maka bagi mereka yang akan melaksanakan perkawinan campuran (WNI dengan WNA) atau sesama WNI di luar Indonesia dapat dicatat oleh PPN atau Penghulu pada Perwakilan RI di luar negeri.
Di dalam UU NO 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN juga diatur Pencatatan Perkawinan di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Pasal 37.
- Perkawinan Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia.
- Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat.
- Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat peristiwa perkawinan dalam Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
- Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia
Dari apa yang di paparkan diatas, pernikahan yang dilakukan di depan Ka’bah saat Umroh dianggap syah apabila memenuhi syarat sebagaimana yang diatur UU, dan yang paling penting setelah sampai di Indonesia harus dicatatkan ke Kantor Urusan Agama setempat.
)*Penulis adalah Ketua TA’MIR MASJID AL-AMIN RS AISYIAH Bojonegoro.