Milana, Buku Cerpen Bernard Batubara Tentang Kesedihan
Jumat, 16 Desember 2016 21:00 WIBOleh Heriyanto
Oleh Heriyanto
KESEDIHAN menjadi point utama yang dieksplore dalam buku cerpen karya Bernard Batubara ini, Milana; Perempuan yang Menunggu Senja. Ya ,kesedihan selalu menarik hati, meski semua tahu bagaimana rasanya sedih. Sepertinya tidak mau, tapi kadang dirindukan juga.
Sebenarnya saya membeli buku ini tidak sengaja. Sebenarnya mau beli Milea karya Pidi Baiq. Eh, gara-gara tergesa-gesa, keliru memilih yang ini. Sadar pas mau membacanya. Awalnya dongkol, tapi tak apa.
Milana -gadis yang namanya menjadi judul cerpen yang kemudian disematkan sebagai judul kumcer ini- adalah pelukis senja. Hanya senja yang ingin dipindahkannya ke atas kanvas di atas feri yang menyeberangi Selat Bali, dari Banyuwangi ke Jembrana. Karena Areno Adamar, seorang travel photographer, menyukai senja dan mengistimewakan senja untuk direkam lensa kameranya. Setelah pertemuan mereka yang kedua, mereka bersepakat untuk selalu berjumpa di atas feri dan bersama-sama merekam senja, dengan cara mereka sendiri. Tapi dua tahun telah berlalu, hanya Milana sendiri yang merekam senja dan menunggu sambil meyakinkan dirinya bahwa Areno pasti akan datang. "Menunggu adalah perkara melebarkan kesabaran dan berhadap-hadapan dengan risiko ketidakhadiran. Mendedikasikan setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun untuk menyambut sebuah kedatangan kembali. Untuk mendengar sebuah "Halo, ini aku, sudah pulang." (hlm. 175).
Milana adalah sebuah cerpen yang indah, melenakan, dan membuat sedih. Begitu juga cerpen-cerpen lainnya. Bagi Anda yang merasa merindukan kesedihan karena hidup kalian sedang bertabur bahagia, bacalah buku ini. Hidup akan timpang kalau melulu bahagia. Sedih juga perlu. Tidak bisa sedih? Buku ini jawabannya, membantu Anda merasakan sedih.
Hampir tidak ada tema baru dalam lima belas cerpen Bernard Batubara yang dihimpun dalam kumcer ini. Semua cerpennya masih membincang tentang cinta, keluarga, dan problematika kehidupan yang mencetuskan kesedihan yang sudah kerap diangkat dalam banyak karya fiksi. Tapi membaca cerpen-cerpennya bukan berarti akan membuat kita terjebak dalam kekecewaan. Bagaimanapun Bernard Batubara memiliki teknik penyajian dengan kekuatan merangkai kalimat dan pemilihan diksi yang mahir dan anggun. Semua cerpen dihadirkan dalam kesegaran rangkaian kalimat indah, puitis tapi tidak hiperbolis. Alhasil, meskipun hampir semua tema yang diusungnya tergolongmainstream, dengan mudah bisa dinafikan oleh kemampuannya berkisah. Kelemahannya hanya terletak pada penggunaan lebih dari satu narator orang pertama dalam satu cerpen tapi tidak menunjukkan kekha,saan suara masing-masing narator.
Pokoknya, kesedihan adalah warna dominan dalam kumcer ini. Selain Tikungan dan Pintu yang Tak Terkunci, kesedihan melekat dalam dalam cerpen-cerpen lainnya. Tapi tidak semua kesedihan yang ada bersifat kekal dan menyesakkan. Terkadang diawali dengan kesedihan, para karakter dalam beberapa cerpen akan menjemput kebahagiaan.