Sungai Nil yang Menawan, Bengawan Solo yang Kasihan
Rabu, 21 Oktober 2015 13:00 WIBOleh Nasruli Chusna
Oleh Nasruli Chusna
Blue Perro, grub band jazz asal Madrid, memainkan instrumen musik dari gitar, bas, cello, dan kontrabas. Panggung di salah satu ruang pertunjukan Tsaqiya El Sawy Culturewheel, Zamalek, Mesir, benar-benar mereka kuasai. Kelima personel berkolaborasi dengan apik sehingga para penonton terlarut dalam iramanya. Permainan gitaris yang juga merangkap sebagai vokalis tidak kalah dengan gitaris terkemuka New York (1960), Steve Vai.
"You like flying," kata Walang Gustiyala, penulis novel Hitam Putih Katarsis (Kaki Langit, Yogyakarta; 2014), pada sang vokalis. Sang vokalis tersenyum ramah, lantas mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya dalam bahasa Inggris dengan terbata-bata. Dia mengaku bahasa Inggrisnya kurang bagus, demikian pula bahasa Arabnya.
Namun dengan antusias dia mengundang kami mengikuti konsernya di Barcelona, sebulan kemudian. Kami hanya tersenyum. Lalu mengatakan bahwa sebentar lagi akan menempuh ujian termin (Semester) 1 di Universitas Al-Azhar. Tentu saja sembari berpikir berapakah harga tiket dari Kairo ke Barcelona? Apakah cukup dengan minhah (beasiswa) kami selama satu bulan. Haha.
Kala itu bulan Februari 2009. Kairo hendak memasuki musim dingin. Saya beserta teman-teman pegiat Rumah Budaya Akar, Kairo, menyempatkan diri bertandang ke tempat pertunjukkan seni dan budaya yang diprakarsai oleh salah satu mantan menteri rezim otoriter Mesir, Abdul Mun'im el Sawy.
Adapun lokasinya terletak di perbatasan antara Kota Kairo dan Zamalek. Tempat pertunjukkan musik yang kami datangi tadi, tepat berada di bawah jembatan layang. Selain sebagai panggung musik, juga terdapat bioskop, panggung teater sekaligus puisi, pameran seni rupa, serta kafetaria. Semua pertunjukkan tersebut dapat kita nikmati secara gratis. Untuk menikmatinya, kita hanya dibebankan tiket masuk area sebesar 2 pon mesir, sekitar Rp 5.000.
Suasana di kafetaria sungguh susah untuk dilupakan. Secangkir kopi atau teh terasa seperti arak surga, karena tepat di bawah kita adalah aliran sungai terpanjang di dunia, Sungai nil. Airnya pun mudah kita gapai, hanya dengan sekali sambar. Sesekali kita mereguknya. Karena mitos mengatakan barang siapa meminum air Sungai Nil kala berkunjung ke Mesir, maka kelak akan datang lagi ke negeri para nabi itu.
Sesekali kita juga dapat melihat kapal dengan ukuran sedang, berlampu kelap-kelip dan riuh oleh alunan musik padang pasir. Seorang staf Kedutaan Republik Indonesia (KBRI) pernah bercerita bahwa di dalamnya ada pertunjukkan tari perut yang melegenda di Timur Tengah itu.
Kesan lain berputar 160 derajat saat saya kembali ke tanah kelahiran, Bojonegoro. Kota minyak ini dibelah oleh sungai terpanjang di pulai Jawa, Bengawan Solo. Dari pandangan mata lebarnya tak jauh beda dengan Sungai Nil. Hanya saja perlakuan kepada dua sungai ini yang berbeda. Sungai Nil benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat sekitar dari berbagai bidang. Mulai pertanian, transportasi dan pariwisata.
Sungai Bengawan Solo juga sama-sama memberi berkah melimpah bagi masyarakat sekitar. Sejak jaman pra sejarah hingga kini, Bengawan Solo menyimpan sejuta cerita dan misteri. Temuan-temuan fosil dan benda-benda kuno lain menjadi bukti betapa vitalnya Bengawan Solo bagi masyarakat sekitar. Bahkan pada masa kejayaan Majapahit, Bengawan Solo menjadi jalur transportasi utama daripada jalur darat.
Hal ini disampaikan oleh penyuluh budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro, Novi Bahrul Munib. Menurutnya, berdasar prasasti Canggu (1358 M), beberapa pelabuhan desa ada di Bojonegoro. Di antaranya adalah, lanjut dia, ada di Desa Sumbang Timun, Kecamatan Trucuk dan Dusun Bandar, Desa Batokan, Kecamatan Kasiman.
Temuan yang saya dapatkan ketika menjalankan tugas dari BBC untuk mengupas Sungai Bengawan Solo dari berbagai sisi, sungguh bertolak belakang dengan berkah yang diberikan. Temuan tersebut antara lain maraknya tambang pasir mekanik, pencemaran air dan masalah sampah yang menyebalkan. Memang kasihan.
Meski demikian kita juga patut angkat topi atas terselenggaranya Festival Bengawan serta pembangunan Taman Bengawan Solo (TBS). Paling tidak, meski belum maksimal, sedikit perhatian telah diberikan bagi sungai yang namanya diabadikan dalam sebuah lagu oleh almarhum Gesang itu.
*Penulis adalah jurnalis BBC, pegiat Komunitas Langit Tobo