Memilih Berkiprah di Negeri Seberang
Selasa, 01 Maret 2016 08:00 WIBOleh Nasruli Chusna
Oleh Nasruli Chusna
Seorang kawan baru saja memberi kabar bahwa dia sekarang berada di Sarawak, Malaysia. Kawan itu berasal dari satu daerah di Pontianak. Jika dihitung berdasarkan waktu kira-kira hanya sekitar 4 jam dari Sarawak. Di Negeri Jiran itu dia menjadi guru di salah satu masjid kecamatan sejak 4 bulan terakhir. Sebelumnya dia mengajar di sebuah lembaga di daerahnya sendiri.
Meski hanya sebagai guru masjid, namun kesejahteraannya di Sarawak sungguh terjamin. Dia mendapat rumah dinas yang sangat layak. Selain itu masjid yang dia kelola sungguh menghargainya, tanpa memandang apakah dia Islam A atau Islam B. Masyarakat hanya memandang dia sebagai seorang ustadz yang harus dihormati dan dimulyakan.
Selain fasilitas rumah, kawan saya juga mendapat bisyaroh yang setara dengan gaji PNS di Indonesia golongan 3-A. Keputusan untuk meninggalkan tanah kelahiran dan keluarga, dirasanya memang berat. Hanya saja untuk berkiprah di tanah airnya, meski berlabel lulusan luar negeri, ada satu yang menurutnya mengganjalnya. Yaitu orang dalam.
Berbagai program telah dia rancang untuk memajukan lembaga pendidikan yang dipegangnya. Mulai dari membangun basis pendidikan formal maupun non formal. Namun sebagus apapun konsep yang dibikinnya harus mentok karena ganjalan tadi. Sementara kebutuhan hidup untuk menghidupi anak dan istrinya kian mendesak.
Pada lembaga yang dipegangnya itu dia mendapat honor Rp 500.000 per bulan. Tentu saja jika dilihat secara materi, masih jauh dari cukup untuk rumah tangga beranak satu. Sebab itu ketika diminta seorang guru untuk menjadi ustadz di salah satu masjid di Sarawak, tanpa pikir panjang dia langsung menerimanya. Dengan konsekuensi harus meninggalkan tanah kelahiran dan keluarga.
Demikian perbandingan nasib guru honorer di tanah air dan negara tetangga. Tidak heran jika banyak guru-guru berkualitas kita lebih memilih berkiprah di luar negeri. Kenyataaan ini semestinya jangan dihindari. Tapi dihadapi. Bagaimana kreatifitas kita semestinya mampu memecahkan ketimpangan antara guru PNS dan guru honorer. (rul/kik)