Membincang Hukum Pers di Indonesia
Antara Perlindungan dan Kesempatan
Kamis, 05 Mei 2016 19:00 WIBOleh Nasruli Chusna *)
Oleh: Nasruli Chusna*
TANGGAL 3 Mei lalu kita baru saja memperingati hari kebebasan pers sedunia. Banyak cara dilakukan untuk merayakannya. Mulai dari menggelar aksi unjuk rasa, nonton film bareng dan diskusi tentang dunia pers. Salah satu topik yang sering dibahas dalam dunia pers adalah dari segi hukumnya.
Dasar hukum pers di Indonesia diatur dalam Undang-undang (UU) nomor 40 tahun 1999. Selain itu aturan lain yang berhubungan dengan pers antara lain UU nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, UU nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik, UU nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kode Etik Jurnalistik, serta Peraturan Dewan Pers tentang Hak Jawab dan lain sebagainya.
Pada UU Pers, Bab III pasal 8, disebutkan bahwa dalam melaksanakan profesinya, wartawan atau jurnalis mendapat perlindungan hukum. Jaminan hukum yang dimaksud adalah ketika jurnalis melaksanakan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, dengan cara mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi kepada publik.
Hal di atas dirasa penting karena potensi untuk mendapat ancaman dan intimidasi bagi jurnalis cukup besar. Apalagi ketika meliput di daerah yang rentan konflik. Baik konflik dengan aparat, pemangku kepentingan satu wilayah, maupun sesama pekerja media lain.
Hanya saja tidak dipungkiri, jaminan perlindungan hukum tersebut tidak serta merta membuat jurnalis terjamin keselamatannya kala bertugas. Mereka harus melengkapi diri dengan ketrampilan khusus, sesuai dengan lokasi mana akan ditugaskan. Sebab corak daerah satu dengan daerah lain pasti berbeda. Ada yang cukup dengan menjaga etika, ada pula yang mengharuskan kita sampai merogoh kocek sendiri agar terjamin keselamatannya.
Dengan kata lain, sebagai pekerja media, jurnalis harus membekali diri dengan ketrampilan safety, yaitu perlindungan keselamatan sebagai antisipasi terhadap hal-hal tak diinginkan. Misalnya saja, saat meliput insiden kerusuhan, aparat atau preman kerap menjaga ketat agar jurnalis tidak bisa mengambil foto atau gambar. Jurnalis terlatih tetap bisa ambil gambar tanpa ketahuan, sehingga beresiko untuk keselamatannya. Sementara tugasnya sebagai seorang wartawan juga tertunaikan.
Di samping keistimewaannya di hadapan hukum, kenyataan di lapangan sering dijumpai oknum yang melacurkan diri atas nama jurnalis. Mereka kerap melakukan intimidasi pada narasumber demi mendapatkan sedikit uang. Maka tidak asing lagi di masyarakat sebutan wartawan bodrex, yang ditujukan kepada sebagian oknum jurnalis. Ironisnya pandangan miring itu juga kerap ditujukan pada jurnalis lain yang tetap memegang teguh kode etik dan menjaga profesionalitas mereka.
Menghadapi hal di atas, menjadi jurnalis profesional memang gampang-gampang susah. Apalagi jika seorang jurnalis profesional melakukan liputan bersama-sama dengan oknum-oknum pers tersebut. Kondisi itu menjadikan narasumber biasanya berpikir mereka sama saja. Tentu hal ini ada untung dan ruginya. Oknum pers untung karena bisa dianggap sebagai jurnalis kredibel, sementara jurnalis profesional buntung lantaran kredibilitasnya dianggap sama dengan para oknum tersebut.
Inilah keadaan dimana perlindungan hukum yang diberikan bagi insan pers, atau jurnalis, sering digunakan sebagai kesempatan untuk meraih keuntungan pribadi. Beruntung jika semua narasumber mengerti akan Undang-undang pers, hak jawab, dan hak koreksi. Namun sayangnya kebanyakan lebih memilih langkah instan untuk memberi sesuatu pada sang jurnalis nakal.
Kondisi di lapangan saat peliputan memang berbeda-beda. Ada kalanya kita menghadapi kondisi serba gamang. Apakah kita harus menempuh jalur sesuai hukum pers atau tidak. Hendak menjaga menegakkan kode etik dan menjaga profesionalitas sebagai jurnalis, namun keadaan tidak memungkinkan. Terutama jika berkenaan dengan amplop. Bisa saja ketika di lapangan sebetulnya sangat risih dengan jurnalis yang sering meminta-minta pada narasumber. Namun seringnya sebagai jurnalis, juga bertugas untuk mendapat informasi dari narasumber yang dimaksud.
*Reporter beritabojonegoro.com (BBC), ketua Komunitas Langit Tobo
foto ilustrasi travel isurance.blogspot.com