Industri Rokok Penopang Fundamental Ekonomi
Senin, 22 Agustus 2016 07:00 WIBOleh Muhammad Roqib *)
*Oleh Muhammad Roqib
Suatu siang di tahun 2009 di Jakarta. Redaktur tempat saya bekerja di Kebun Sirih menugasi liputan.
"Rokib, kamu nanti siang liputan pertemuan praktisi dan pengamat ekonomi di hotel.. ya di kawasan Sudirman!," ucap si redaktur tanpa minta tanggapan yang ditanya.
Saya pun langsung menjawab,"siaap, jam berapa acaranya?," balas saya.
"Informasinya jam 13.00 WIB, tapi kamu ke sana dulu saja sebelum jam itu, maklum Jakarta macet," ujar dia. Setelah itu percakapan selesai.
Saya memang belum hafal medan Jakarta, jadi memang harus berangkat lebih awal kalau tidak ingin tersesat, apalagi kalau terjebak macet, bisa berjam jam di jalan.
Setelah menyusuri kawasan Sudirman, naik busway, akhirnya saya menemukan juga hotel yang dimaksud, menjulang di antara gedung pencakar langit di sana. Nah, saya tinggal masuk dan meliput acara itu.
Ternyata di ruangan, seperti ballroom, sudah penuh orang, berdandan necis, rapi, dan kelimis. Saya seperti orang asing di tempat itu. Mereka duduk melingkar seperti pertemuan meja bundar. Tak berselang lama, akhirnya perbincangan dimulai. Ternyata diskusi tentang kondisi ekonomi kekinian itu semuanya memakai bahasa Inggris, tidak memakai bahasa Indonesia. Bahasa Inggris saya yang pas pasan agak sulit memahami, mencerna perbincangan itu, apalagi istilah istilah ekonomi yang teknis.
Tapi saya terus mengikuti perbincangan itu, salah satu narasumber berbicara serius soal ekonomi Indonesia yang ditopang oleh industri rokok. Ia menilai tidak semestinya ekonomi Indonesia justru dikuasai oleh pengusaha rokok, sedangkan sektor lainnya seperti agroindustri dan agrobisnis tidak dikembangkan.
Nah, saya melihat narasumber itu menarik untuk diwawancarai, tapi dia lama bicara di depan, kalau menunggu selesai kelamaan. Sedangkan, yang diulas terlalu umum.
Tiba tiba, si narasumber itu minta izin sebentar, keluar menuju kamar mandi. Nah, ini kesempatan saya wawancara. Saya lalu menunggu di depan kamar mandi. Setelah keluar, dia langsung saya cegat, saya todong wawancara. Dengan logat bahasa Inggris agak brekele, saya berkata, "I am sorry sir, can i talk with you for a minute," ucap saya.
Dia membalas," oh sure, can i help you," dia menjawab ramah.
"Yes iam journalist, from...., and i want to interview about this topic, economy Indonesia," ujar saya mengenalkan diri dan menyampaikan maksud saya.
Dia lalu mempersilakan wawancara, saya langsung bertanya pandangan dia soal industri rokok yang menopang fundamental ekonomi Indonesia.
Dia berpendapat, ekonomi Indonesia saat ini ditopang oleh industri rokok, ini sangat memprihatinkan, kata dia.
Bahkan, kata dia, 10 persen orang kaya Indonesia menguasai 77 persen total kekayaan Indonesia. Dan yang paling dominan adalah pengusaha rokok.
Seharusnya, kata dia, pemerintah mendorong agroindustri dan agrobisnis di luar industri rokok berkembang agar petani bisa mandiri dan sejahtera.
"Jangan petani itu disuruh tanam tembakau, nanti yang untung ya pengusaha rokok," ujar dia.
Belum lagi, kata dia, dampak yang ditimbulkan oleh industri rokok itu, dampak kesehatan masyarakat dan kerugian lainnya.
"Ya pemerintah ini memang harus tegas, ya pro kesehatan dan pro industri, tetapi industri yang bisa berdampak pada kesejahteraan masyarakat, bukan industri yang padat modal," ujarnya.
Ia menilai, di balik industri rokok ini memang ada banyak yang berkepentingan, bukan hanya pengusaha, tetapi juga regulator yang mendapatkan cipratan memuluskan usaha rokok. Setelah berbincang agak lama, ia meminta izin untuk kembali ke forum lagi.
Nah, saya pikir cukup wawancaranya dan saya pun bergegas balik ke kantor di Kebun Sirih, tak perlu menunggu pertemuan itu selesai. Setelah naik busway dan bajai, saya akhirnya sampai di kantor dan langsung mengetik beritanya. Esoknya, berita industri rokok jadi penopang fundamental ekonomi itu jadi headline.
Ilustrasi foto www.kanalsatu.com