Karena Diam Adalah Emas
Rabu, 24 Agustus 2016 07:00 WIBOleh Muhammad Roqib *)
*Oleh Muhammad Roqib
Jamuan Makan Siang di Madiun Tahun 2009.
Ketua partai banteng moncong putih, Megawati Soekarno Putri, sedang melakukan konsolidasi, bertemu dengan kader partai di Kota Merah itu. Sebentar lagi akan ada pemilihan kepala daerah, partai banteng moncong putih harus merebut Kota Merah. Dan, Ibu Mega, sang ketua partai banteng moncong putih, merasa perlu mendengar dan menyokong perjuangan kadernya.
Kota Merah dipenuhi orang orang berbaju merah, beratribut merah, gambar banteng moncong putih di tengah bendera berkibar kibar. Sesekali, di tengah jalan, di trotoar, di perempatan jalan, kader banteng moncong putih berteriak,"merdeka, merdeka, merdeka!," sambil mengepalkan tangan di udara.
Massa berbaju merah itu lalu bergerak mengumpul di lapangan besar, di tengah lapangan sudah ada panggung besar. Seorang naik ke panggung, berbaju merah, memakai baret hitam, lalu dia mengepalkan tangan ke udara, "merdeka, hidup Mega,". Dia kemudian berorasi berapi api, dari belakang suaranya kurang terdengar jelas. Ribuan orang berbaju merah, beratribut banteng moncong putih membanjiri lapangan itu.
Massa kemudian riuh, seseorang yang ditunggu naik ke panggung, Megawati, anak kandung Soekarno itu naik ke panggung. Ia memakai baju merah, bersanggul dan berkacamata seperti biasa, ia lalu mengepalkan tangan ke udara dan memekikkan,"merdeka, merdeka,". Massa membara membalas pekikan merdeka itu.
Megawati lalu berorasi, mengajak seluruh kadernya mendukung calon dari partai banteng moncong putih memenangkan pilkada, dari belakang suaranya terdengar kurang jelas. Saya hanya mengamati saja ribuan orang yang menyemut itu, terkadang mereka menari, terkadang meneriakkan yel yel, terkadang mereka berjingkrak jingkrak mendengarkan musik dangdut.
Usai rapat akbar di lapangan besar, massa buyar. Megawati dan rombongan jamuan makan siang di salah satu rumah besar. Orang orang berbaju merah mengawal ketat ketua partai, ada pula sekjen partai, Pramono Anung, dan anak Megawati, Puan Maharani, serta Tjahyo Kumolo. Para pembesar partai kumpul di jamuan makan siang itu.
Saya ikut menyelinap masuk, di antara orang orang di rumah besar itu. Mereka sedang makan, mengobrol, dan sesekali tertawa. Bu Mega duduk semeja dengan para pembesar partai.
Usai jamuan makan siang itu, saya mendekat, berharap bisa wawancara, beberapa teman jurnalis lain juga mendekat,"ibu mega, kami mau minta waktunya sebentar wawancara," tanya kami.
"Wawancara apa, sekarang ayo makan saja, sudah makan belum," balas Ibu Mega.
"Sudah bu, tinggal wawancara saja," balas kami, padahal mana sempat saya makan, keburu hilang momen, pikir saya.
"Jadi begini bu, apa ibu yakin partai banteng moncong putih ini bakal menang pilkada kota merah," tanya kami.
"Iya harus menang, partai ini partaine wong cilik, kalau wong cilik menghendaki, pasti calon yang diusung menang," ujar dia.
"Lho calon yang diusung partai banteng moncong putih ini siapa bu, apa petahana, padahal kan petahana tersangkut korupsi," tanya kami lagi.
"Soal itu, tunggu saja nanti ya, tunggu saja," ujar dia.
"Tunggu sampai kapan bu, kan pilkada sudah dekat," ujar kami lagi.
"Iya pokoknya tunggu saja," ujarnya. Setelah itu, dia diam. Diam itu emas, jargon yang sering ada waktu itu.
Semua kader juga diam. Semua isyarat, gerak tubuh, petunjuk sang ketua partai banteng moncong putih harus diikuti. Para kader dan pengikut partai percaya, sang ketua partai punya insting jeli dalam membuat keputusan keputusan politik. Jamuan makan siang di rumah besar itu ditutup dengan diam. Karena diam adalah emas. Salam
Ilustrasi foto www.waspada.co.id