Ibu Melahirkan Bayi di Taksi
Selasa, 30 Agustus 2016 07:00 WIBOleh Muhammad Roqib *)
*Oleh Muhammad Roqib
Suatu hari di tahun 2004 di Surabaya
Setelah lulus kuliah, hampir sama dengan mahasiswa lainnya, ingin langsung cepat kerja, memasuki dunia baru, saya pun begitu.
Nah, saya memilih profesi jurnalis, karena menurut saya profesi ini bisa memperjuangkan orang orang kecil, membela yang lemah.
Setelah melamar kerja, saya akhirnya diterima di salah satu surat kabar di Surabaya. Saya dipanggil oleh pimpinan surat kabar itu, diajak ngobrol di ruang rapat redaksi. Dia melihat saya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia lalu membuka berkas lamaran saya, ternyata yang dilihat cuma IPK, mungkin karena dianggap standar, saya pun diterima.
"Namamu Rokib ya. Mengapa ingin jadi jurnalis?," dia bertanya.
"Saya suka menulis pak, dan saya suka tantangan pak," jawab saya sekenanya.
"Lho enggak cukup kalau cuma suka nulis dan suka tantangan, apa kamu sudah siap mental?," tanya dia lagi.
Terus terang, pertanyaan itu kurang saya mengerti, jadi saya jawab sekenanya juga.
"Saya siap lahir batin pak, siap mental pak," jawab saya lagi.
"Baik kalau begitu, mulai besok kamu mulai bertugas, mulai meliput, bareng sama si anu. Tugasmu liputan di rumah sakit dr Soetomo," ujar dia lagi.
Saya berpikir, liputan apa di rumah sakit. Tapi saya diam saja, saya tidak mau rewel.
Saya lalu mengamati suasana di ruangan redaksi itu, banyak orang sibuk di depan komputer, mengetik, membuat grafis, ada yang mulutnya komat kamit sambil mengeja tulisan. Semuanya sibuk.
Keesokan harinya, saya liputan ke RSU dr Soetomo, bareng teman si anu. Dia juga anak baru, cuma dia fotografer. Tapi kamera yang dibawa bukan tipe SLR tetapi kamera colpix biasa. Sama sama anak baru, jadi kami cepat akrab, tetapi sama sama bingung yang mau diliput apa.
Di IGD RSU dr Soetomo sangat ramai, hampir tiap jam ada pasien yang masuk, ambulan meraung raung, dokter dan perawat yang bergegas menolong pasien, dan keluarga pasien yang berkerumun. Pasien tidur berjejer jejer di tempat tidur menunggu ditangani. Dalam hati saya, ini mana yang mau saya liput, saya wawancarai siapa. Berkali kali, ada korban kecelakaan masuk rumah sakit, isak tangis keluarga mengiringi pasien yang jadi korban kecelakaan itu. Saya pun mencoba mendekati keluarga pasien, bertanya ini dan itu. Saya tanyai hampir semua korban kecelakaan itu, ada yang patah kaki, ada yang luka robek karena jatuh, dan banyak lagi. Setelah sore, saya rasa cukup dapat berita, terus saya balik ke kantor di dekat kalimas itu.
Di kantor sudah ramai, jurnalis dan editor berkumpul. Oh ternyata rapat redaksi seperti ini. Semuanya tampak serius. Si pemimpin media yang memimpin jalannya rapat. Rapat serius membahas penangkapan gembong teroris di Surabaya, tetapi saya tidak terlalu paham isunya itu. Setelah semua jurnalis menyampaikan hasil liputan, giliran saya ditanya oleh pimpinan media itu.
"Rokib, kamu liputan apa hari ini?," tanya dia. Semua mata di ruangan itu tertuju padaku.
Sata jawab," hari ini ada banyak kejadian kecelakaan pak," jawab saya percaya diri.
"Lho namanya rumah sakit, apalagi RSU dr Soetomo setiap hari ya menerima pasien kecelakaan," ujar dia sambil tertawa. Tak pelak seisi ruangan ikut terpingkal. Saya heran, mengapa mereka tertawa, padahal saya seharian penuh liputan di IGD RSU dr Soetomo.
"Ya sudah, kamu tulis saja hasil liputanmu itu," ujar pimpinan media itu. Setelah itu, rapat ditutup dan semua mulai sibuk menulis berita.
Keesokan harinya, saya buru buru melihat berita di koran. Alamak ternyata tak satu pun berita yang saya tulis dimuat. Saya lalu tanya editor, kenapa berita saya kok enggak dimuat. Dia cuma bilang," beritamu belum menarik, kamu hari ini liputan lagi ke rumah sakit, cari berita yang menarik," jawab dia.
Saya tak patah arang, saya mau liputan lagi ke rumah sakit, tetapi rupanya teman saya fotografer itu enggak masuk dan dia meminjami kameranya.
Saya sendirian liputan. Saya berpikir lagi, liputan apa yang menarik. Sejak pagi hingga siang, saya nongkrong saja di IGD RSU dr Soetomo. Ada korban kecelakaan tidak lagi saya liput, paling paling beritanya enggak masuk lagi. Menjelang sore, tiba tiba ada taksi biru datang ke IGD, sopir taksi terlihat tergopoh menemui petugas. Saya pun mendekat ke taksi dan melihat ada apa gerangan. Saya melongok ke dalam taksi, rupanya seorang ibu merintih, seperti mau melahirkan. Saya ikut deg degan, tak berapa lama kemudian terdengar suara pecah, suara bayi menangis dari dalam taksi, bayi mungil yang masih merah keluar di sela sela selimut. Bayi itu lalu direngkuh oleh sang ibu lalu digendong. Saya tak mau kehilangan momen itu dan beberapa kali menjepret peristiwa itu. Kemudian, doker dan perawat datang dan membawa masuk bayi itu. Saya wawancara ibu itu, sopir, saya catat nomor kendaraan. Setelah itu, saya wawancara dokter, tanya berat bayi dan kondisinya. Setelah cukup, saya kembali ke kantor.
Sang pemimpin media tanya lagi, apa hasil liputan saya hari ini. Dan saya pun menjawab ada ibu melahirkan bayi di taksi. Dia pun girang dan menyuruh saya menulis.
Keesokan harinya, berita dan foto ibu melahirkan di taksi itu jadi berita headline. Bahkan, fotonya dianggap sangat bagus. Seorang fotografer senior di kantor mendekati saya dan bilang,"fotomu istimewa Rokib, foto A. Kalau ada lomba fotografi, nanti saya ikutkan fotomu ini," ujarnya.
Saya pun cuma diam. Hari ini apa lagi yang mau saya liput?.
ilustrasi foto www.merdeka.com