Jadilah Sang Fajar Nak !
Rabu, 31 Agustus 2016 07:00 WIBOleh Muhammad Roqib
Oleh Muhammad Roqib
Suami istri, Sukab dan Saminah, tinggal di kampung kecil di tengah hutan. Mereka punya dua anak, Rendeng dan Semi.
Sukab, setiap pagi keliling kampung berjualan telur puyuh goreng. Ia membawa rombong yang ditaruh di belakang sepeda motornya. Ia sering jualan telur puyung ceplok itu di dekat sekolah, anak anak sekolah pun saat jam istirahat berkerumun mengantre membeli telur puyuh ceplok itu.
Sukab bisa berjualan mulai pagi buta sampai petang. Keringat yang bercecaran di wajahnya ia usap dengan handuk kumal yang selalu ia bawa. Topi kumal ia selalu pakai untuk melindungi dari terik matahari.
Sementara sang istri, Saminah, akan selalu menunggu kedatangan sang suami di halaman rumah. Saminah selalu menghidangkan kopi hangat dan singkong goreng saat Sukab akan berangkat kerja. Ia juga sibuk memasak dan merawat Semi di rumah.
Anak pertama, Rendeng, adalah matahari bagi Sukab dan Saminah. Prestasi Rendeng di sekolah cukup moncer. Bocah itu selalu rangking satu di kelas. Rendeng juga selalu tekun belajar. Kalau malam hari, ia belajar diterangi lampu petromaks. Kalau hujan, seringkali buku bukunya basah karena genteng rumah bocor di sana sini. Tapi, tekad Rendeng sekolah tak ada yang menandingi. Ia berjalan kaki dari rumahnya ke sekolah sendirian, melewati jalan setapak di hutan dan sampai sekolah sekitar dua kilometer.
Sukab selalu bangga terhadap Rendeng. Ia mengelus bocah itu, sambil berujar dalam hati, nak kelak kau akan menjadi matahari nak, menjadi Soekarno atau Hatta, di masamu nanti. Cukuplah bapak seperti ini, tetapi kamu harus menjadi sang fajar. Rengkuhlah ilmu nak, dan akan kau genggam dunia.
Ilustrasi foto www.citizenliputan6.com