Bojonegoro Kota Pesta
Senin, 14 November 2016 08:00 WIBOleh Heriyanto
Oleh Heriyanto
Bojonegoro kota pesta. Sebutan itu sepertinya layak disematkan pada daerah di ujung barat Jawa Timur dan dibelah sungai terpanjang di Pulau Jawa itu. Selalu ada saja yang dipestakan atau dirayakan. Lihat saja, setiap pekan ada pesta ini, pesta itu, semuanya meriah, gebyar. Segala sesuatu sepertinya harus dibuat pesta. Kalau bisa pesta yang meriah. Soal urusan duitnya dari mana, itu urusan nanti. Soal rakyat kelaparan, itu urusan nanti. Yang penting pesta.
Layaknya sebuah pesta, mereka yang bisa berpesta akan berusaha tampil menarik perhatian, menghabiskan jamuan, dan menggosip di kalangan mereka sendiri yang tidak akan terjangkau oleh rakyat jelata. Sementara, rakyat kebanyakan sulit bisa makan, terjerat kemiskinan, jadi pengangguran, dan sulit tertawa, itu tidak akan dipedulikan. Yang penting bisa pesta.
Layaknya sebuah pesta, orang-orang yang berpesta butuh panggung. Mereka selalu butuh panggung. Untuk dielu-elukan, untuk dikagumi, untuk dirayakan. Dunia panggung adalah dunia semu, dunia sandiwara. Dunia panggung sering lepas dari dunia realita. Dunia panggung tujuannya menghibur para penonton, tetapi tidak akan mengubah nasib dan kehidupan sehari-hari penonton.
Dunia realitas lain lagi. Lihat saja, persoalan kemiskinan di Bojonegoro begitu pelik. Jumlah warga miskin di Bojonegoro sebanyak 196 ribu jiwa. Bojonegoro menempati peringkat ke sembilan daerah termiskin di Jatim berdasarkan hasil survei Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Tahun 2013.
Selain itu tingkat kesenjangan atau gini rasio di Bojonegoro juga terus naik. Pada Tahun 2011 sebesar 0,27 persen, tahun 2012 sebesar 0,31 persen dan tahun 2013 sebesar 0,42 persen. Distribusi sumber daya dan basis sosial di Bojonegoro juga belum merata.
Selain itu, 3.000 anak usia sekolah putus sekolah. Sebanyak 49.445 siswa di Bojonegoro hidup dalam keluarga miskin. Ditambah lagi jumlah pengangguran kini melejit 21 ribu orang.
Seperti kata Bang Rhoma Irama, pesta pasti berakhir. Namun di luar sana, di luar panggung pesta, derita masyarakat miskin, anak putus sekolah, dan pengangguran, tak kunjung berakhir. (her/kik)