Tentang Bahasa
Sebab Kami adalah....
Minggu, 11 Oktober 2015 09:00 WIBOleh Mohamad Tohir
Mohamad Tohir
MELALUI tulisan ini, saya ingin bertanya. Bertanya betulan. Bukan mengajukan tebakan. Sekali lagi, saya bertanya betulan. Ini setelah beberapa hari ini saya mengikuti beberapa acara televisi. Pertanyaan itu muncul begitu saya menemukan, beberapa kali, kata kita yang tertukar dengan kata kami. Atau lebih ekstrim lagi, kita yang menganulir, maksud saya mendepak keberadaan kata kami.
Misalnya, pada sebuah talkshow, seorang narasumber mengatakan begini, "kita sudah berusaha sekuat tenaga. Tapi apa boleh buat, mereka yang sulit diatur."
Dia mengatakan itu kepada pemandu acara, sebagai jawaban atas sebuah pertanyaan. Sepintas lalu, saya harus memahami bahwa si narasumber bermaksud bilang bahwa yang sudah berusaha adalah pihaknya dan juga pihak si pemandu acara. Tapi ternyata tidak. Sebab, posisi mereka berdua berseberangan. Si pemandu acara berada di pihak yang berbeda dengan si narasumber. Lalu mengapa dia pakai kata kita.
Saya heran, mengapa semakin jarang orang menggunakan kata kami dan lebih memilih kita. Banyak orang, baik secara langsung maupun yang saya simak di teve, jarang sekali memakai kata kami. Padahal sebenarnya dia harus menggunakannya. Tetapi yang digunakan adalah kata kita.
Apa kata kami dan kita itu sama ya? Nah ini saya yang tidak tahu sekarang. Bisa jadi telah berubah. Paling tidak menurut televisi. Sebab, saat saya membuka kembali Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tidak ada perubahan kok. Kami dan kita dua kata yang berbeda dan punya guna sendiri-sendiri. Penggunakan terbalik bisa bikin orang bingung bahkan sakit hati lho.
Contoh, suatu hari saya datang bersama seorang kawan di sebuah warung kopi. Saya tidak punya uang sama sekali saat itu. Juga kawan saya. Saya bermasud meminta belas kasihan. Siapa tahu pemilik warung orang baik yang rela memberikan derma barang satu dua cangkir kopi.
Lalu saya bilang begini ke empunya warung dengan kalimat pembuka begini : "Bung, kita sedang pailit." Si empunya warung pasti bingung. Kok mengikutsertakan dia segala.
Saya coba kutipkan bagaimana KBBI mendefinisikan kedua kata itu. Kami didefinisikan dengan : "yang berbicara bersama dengan orang lain (tidak termasuk yang diajak berbicara)." Sedangkan kita didefinisikan sebagai "pronomina persona pertama jamak, yang berbicara bersama dengan orang lain termasuk yang diajak bicara".
Saya tidak tahu apa ada perkembangan apa dan bagaimana mengenai kedua kata itu. Apakah misalnya sudah ada perubahan. Sebab kemungkinan perubahan itu tetap saja ada. Misalnya karena terlalu ribet. Atau karena tidak percaya diri. Sebab, bahkan dalam bahasa Inggris, kedua kata dalam bahasa Indonesia itu hanya dikenal sebagai we. Artinya kami atau kita sama-sama memakai we dalam bahasa Inggris. Bahasa lainnya juga saya kira sama. We bisa dipakai untuk kedua-duanya oleh mereka. Berfungsi untuk includding adressed (kita) sekaligus excludding addressed (kami). Silakan buka An English-Indonesian Dictionary karya John Echols dan Hasan Shadili kalau tidak percaya.
Tidak ada yang mengenal pemisahan antara kami dan kita selain Indonesia. Arab, juga sama. Mereka memakai nahnu untuk kami atau kita.
Saya tidak tahu apakah ini menjadi masalah penting atau tidak. Saya mencoba mengira-ngira apa maksud pencipta bahasa Indonesia kita menciptakan dua kata yang tidak ada padanannya dengan bahasa lainnya itu, Eropa khususnya. Saya hanya mampu mengira-ngira dan merasa lucu sendiri, misalnya mengganti kata kami dalam teks proklamasi dengan kata kita.
"Kita bangsa Indonesia" untuk "Kami bangsa Indonesia". Melalui proklamasi itu, dengan kata kami, kita sebenarnya membuat semacam batas atau sikap ataupun benteng pemisah antara saya atau kita, dengan engkau atau kalian atau mereka, para penjajah. Saat mengucapkan kami, kita sebenarnya sedang membuat semacam garis yang tegas kepada kekuatan di luar diri, kepada pihak lain.
Saya ingin bertanya. Benar-benar bertanya. Bukan mengajukan sebuah tebakan atau pertanyaan ujian, adakah sesuatu yang serius sedang terjadi?