Sumpah Pemuda dan Ramalan Ronggowarsito
Rabu, 28 Oktober 2015 21:00 WIBOleh Totok AP
Oleh Totok AP
SEJAK sembilan tahun lalu, setiap 28 Oktober, saya hanya teringat itu hari ulang tahun anak pertama saya. Dia lahir tepat 28 Oktober 2006. Maafkan kalau lupa. Kata orang, tanggal itu, pada 87 tahun silam, terjadi peristiwa penting yang menjadi tonggak sejarah kemerdekaan negeri ini.
Kata orang lagi, peristiwa itu awal kesadaran penghuni negeri ini terhadap persatuan dan kesatuan. Lalu, apa yang terjadi? Menurut kabar, seperti juga yang diajarkan bapak-ibu guru sejak saya di sekolah dasar, pada 28 Oktober 1928 itu para pemuda berkumpul dan bersepakat. Makanya hingga kini dikenal sebagai hari sumpah pemuda.
Sudah lama sekali ternyata. Para pemuda itu bersepakat, hampir satu abad lalu. Mereka sepakat, mengaku bertumpah darah satu, Tanah Air Indonesia, mengaku berbangsa satu, Bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan satu, Bahasa Indonesia.
Kurang lebihnya seperti itu. Maaf kalau tidak plek dengan bunyi sumpah sebenarnya. Sesuai sejarah, saya akui tidak hafal. Saat nulis ini, saya tanya pada anak pertama saya yang ditakdirkan lahir 28 Oktober. Dia mendikte cepat sekali. Rupanya di luar kepala dia hafal, akibat bimbingan ibu gurunya pekan lalu.
Tapi itu tidak usah diperdebatkan. Yang penting, kenapa sumpah pemuda itu keramat sekali? Saya terpaksa menggunakan kata “sumpah”, meskipun menurut beberapa sejarawan pada kongres 1928 itu tidak tercatat kata “sumpah”. Mereka bilang telah terjadi pembelokan sejarah.
Tidak jadi soal bagi saya, biarkan sejarawan menggonggong, kata “sumpah” tetap saya gunakan. Karena kadung akrab di telinga.
Kembali lagi ke sumpah pemuda. Para orang tua bilang, kekeramatan sumpah para pemuda itu hampir sekelas dengan keramatnya Jangka Jayabaya atau ramalan Ronggowarsito. Maklum, sumpah pemuda itu merupakan efek ramalan tokoh keduanya. Kok bisa?
Konon, jauh sebelum keluarnya sumpah pemuda, Jangka Jayabaya melalui syiir di Kitab Musarar, mengabarkan, akan munculnya jaman kalabendu atau serba kesemrawutan. Lalu Ronggowarsito juga melalui syiirnya menguatkan akan terjadinya jaman edan. Sopo sing ora ngedan, ora bakal keduman. Unen-unen itu pun dikeramatkan hingga hari ini. Apalagi, memang nyata terjadi di jaman sekarang ini.
Kalau boleh otak-atik mathuk, ramalan Jayabaya dan Ronggowarsito itu lalu disikapi para pemuda generasi era tahun 20-an. Mereka gelisah dengan jamannya. Kisruh, semrawut, kolonial, adu domba, penindasan, pemerasan, korupsi, asal bapak senang, fitnah, upeti, pelanyahan, pelecehan, dan situasi kisruh lainnya. Kesemrawutan itu akibat tingkah kolonial Belanda, yang saat itu mencengkeram bumi Nusantara selama 263 tahun.
Mungkin para pemuda saat itu menyakini jamannya lah yang dimaksud dalam ramalan Jayabaya dan Ronggowarsito. Apalagi para pemuda saat itu juga berkelompok-kelompok. Ada Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Islamiten Bond, dan lainnya.
Tergugah situasi semrawut itu, di antara mereka lalu ada yang tampil menjadi pelopor. Mereka mengajak dan mengundang bertemu. Hingga terwujudlah konggres pemuda sebanyak dua kali. Konggres Pemuda I dilaksanakan di Batavia (Jakarta) pada 30 April-2 Mei 1926, dan diketuai Muhammad Tabrani.
Dilanjutkan, Kongres Pemuda II di gedung Katholikee Jongelingen Bond (Gedung Pemuda Katolik) dan gedung Oost Java (sekarang Medan Merdeka Utara Nomor 14) pada 27-28 Oktober 1928. Kongres Pemuda II dipimpin Sugondo Joyopuspito, wakilnya Joko Marsaid, sekretaris Muhammad Yamin, dan bendahara Amir Syarifuddin.
Kesepakatan untuk bertanah air Indonesia, bebangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia, akhirnya menjadi tumpuan perjuangan rakyat melawan penjajah. Hasilnya tegaklah Kemerdekaan Indonesia pada 17 tahun kemudian, yakni 1945. Tahun ini persis dengan ramalan Jayabaya dan Ronggowarsito ratusan tahun sebelumnya.
Jangka Jayabaya di Kitab Asrar (Musarar) yang ditulis Sunan Giri Prapen tahun 1816, meramalkan, datangnya penjajah bertubuh pendek, berkulit kuning, dan hanya seumur tanaman jagung. Penjajah itu diyakini sebagai bangsa Jepang, yang menduduki Indonesia selama 3,5 tahun, antara 1942-1945. Tanaman jagung, kata guru saya, umurnya sekitar 3,5 bulan.
Jadi, Jayabaya telah meramalkan peristiwa yang tepat tentang kedatangan penjajah Jepang. Diam-diam, saya dan anda semua mungkin, suka menanti-nanti ramalannya yang lain, khususnya tentang Satrio Piningit.
Berikutnya, Ronggowarsito pada 1830 memperkuat jangka jayabaya itu. Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma. Kalimat terdiri empat kata itu terdapat dalam Serat Jaka Lodang. Merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala dibalik dari belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, bertepatan dengan 1945 Masehi. Itu tahun kemerdekan Republik Indonesia.
Menilik paparan itu, dan dimasukkan dalam masa sekarang, banyak orang mengatakan bahwa jaman kesemrawutan dana jaman edan itu masih terjadi dan dirasakan hari ini. Korupsi, seks bebas, membakar hutan, tebang pohon, serobot tanah negara, penindasan, pemerasan, pelacuran, ulama jadi orang rumahan, semau gue, egoistis, wedok kaya lanang, lanang kaya wedok, dan sebagainya.
Saya pun bermimpi. Jika seandainya para pemuda sekarang ini mau berkumpul lagi melakukan semacam konggres seperti sumpah pemuda 1928 itu, alangkah indahnya. Tentunya dengan kesepakatan murni atas inisiatif dan ide para pemuda sendiri, lho. Sebab, tidak jarang ajang konggres-konggresan itu terlaksana atas arahan kepentingan yang dipolitisir. Anda tahu sendirilah yang saya maksud.
Jika pemuda sekarang bisa berkonggres pasti kesemrawutan negeri ini cepat teratasi. Mungkin tidak usah menunggu 17 tahun untuk menuju kemerdekaan yang senyata-nyata merdeka. Saya yakin itu. Kalau tidak percaya, ya dicoba saja.
Ada yang khawatir, apa ya bisa terjadi. Wong para pemuda sekarang itu jiwanya sudah terjajah teknologi informasi. Pemuda sekarang bernafas dengan facebook, twitter, whatsaap, dan medsos lainnya. kecanduannya sudah melebihi takaran minum obat 3 hari sekali. Sekarang itu, berdiri, duduk, berbaring, berjalan, bahkan berlari pun tidak lepas dari smartpone.
Bahkan yang parah, berkelompoknya pemuda sekarang berbeda dengan berkelompoknya pemuda generasi 1928. Sedikit sekali kelompok pemuda bernafas kedaerahan. Sekarang lebih kompleks dan variatif, mulai kelompok yang bernafaskan suporter fanatik bola, politik partisan, kanuragan, sesama jenis kelamin, hingga sampai penyuka mobil antik. Kata orang tua, pemuda sekarang lebih apatis, anti sosial, suka ngomel lewat medsos, suka tawuran, tidak nasionalis, semau gue dan sebagainya.
Jelas ini langeh tamun, meskipun tidak seratus persen. Tapi saya yakin, pemuda sekarang bisa lebih hebat bila melakukan konggres lintas kelompok dan golongan. Bersepakat untuk kemajuan negeri dan dunia ini. Apakah memang seperti itu? (*)
Ilustrasi dari jejamo.com