Memadukan Cross Country dan Parenting sebagai Strategi Membangun Pendidikan?
Senin, 28 Maret 2016 11:00 WIBOleh Linda Estiyanti
Oleh Linda Estiyanti
SEBUAH kehangatan tergambar sangat jelas pada pagi itu. Pagi itu, saya dapati beberapa waktu yang lalu, Sabtu (19/03), dimana seluruh anak yang duduk di kelas pertama, kedua, hingga ketiga murid sebuah sekolah dasar tersebut dapat belajar penuh kehangatan di antara alam bebas. Saya kira mengajak mereka bermain di jam sekolah bukanlah ide yang bagus, namun kemudian keceriaan yang tampak jelas tergambar dalam bingkai polos wajah anak-anak tersebut membuat saya tersenyum. Seolah menemukan sebuah metode baru untuk mengajar adik-adik saya kelak, belajar bersama alam, ternyata menjadi sebuah tawaran yang menggiurkan untuk di praktekkan.
Melintasi Negeri, atau Fathul Alim, salah satu teman yang juga seorang guru salah satu sekolah dasar di Kedungadem, menyebutnya dengan istilah Cross Country. Melalui istilah provokatif tersebut, Alim, sapaan akrabnya, bersama seluruh guru setempat membuat debut baru metode belajar mengajar di sebuah sekolah, yakni SD Islam Nabawi Kedungadem. Dewan guru dan kepala sekolah sepakat untuk meliburkan anak-anaknya hari itu, khusus untuk belajar di atas gunung, di sebuah pondok di Gununganyar, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban. Di pondok tersebut, Pondok Bahasa “Seribu Dua” namanya, anak-anak diajak bermain. Mereka dilatih dengan beberapa game kepekaan dan ketangkasan, selain itu, juga diajak melintasi alam sambil diberikan motivasi-motivasi belajar.
Sebuah gebrakan yang menarik, pikir saya. Namun kemudian, yang menjadikan saya tidak habis pikir adalah, ketika program “belajar cerdas bersama alam” tersebut justru melibatkan orang tua murid. Orang tua, yang notabennya menurut saya adalah sekumpulan orang menyebalkan dengan segunung ocehannya, dimana cenderung menggurui dan menghakimi anak, pada pagi itu justru tampak sangat manis dan menyenangkan. Beberapa kali mereka tertangkap mata tengah bermain bersama anak-anak mereka. Jumlah anak-anak yang waktu itu berjumlah 160 anak, dengan kehadiran orang tuanya pun menjadi berlipat ganda, untuk menguji kekompakan antara orangtua dan anak kala itu. Setelahnya orang tua dipisahkan dari sang anak guna mengikuti sebuah pengarahan dan simulasi tentang pola asuh anak.
“Parenting”, kata Alim. Saya tidak mengerti apa arti dari kata tersebut. Sampai kemudian saya mempelajarinya. Lalu saya temukan, bahwa parenting adalah pekerjaan dan ketrampilan orang tua dalam mengasuh anak. Namun Parenting, bukan saja diartikan sebagai pola asuh anak oleh orang tua dalam keluarga, melainkan juga pola asuh anak oleh guru di sekolah. Jadi, kali ini, yang saya tangkap, teman saya dan sekolahnya tengah mengemas sebuah kegiatan pengarahan wali murid dalam praktek Cross Country, atau sebutlah ia sebagai suatu bentuk Outdoor Study (beberapa saat lalu sempat saya tulis). Ia merupakan salah satu strategi dalam menyeimbangkan antara pendidikan lingkungan keluarga dengan pendidikan sekolah. Sebuah metode baru yang menarik untuk dipelajari saya kira.
Masih ingat sebuah kutipan yang saya temukan dalam sebuah website beberapa hari ini, menurut seorang ahli, Henry Clay Lindgren, menyebutkan bahwa, “The family, not the school, provides the first educational experiences begining in infancy, with the attempt to guide and direct the child-to train him”. Artinya, Keluarga, bukan sekolah, memberikan pengalaman-pengalaman pendidikan yang pertama mulai pada masa pertumbuhan dengan usaha-usaha untuk membimbing dan mengarahkan anak serta melatihnya”.
Kutipan itu membuat saya setuju, bahwa Keluarga lah yang menjadi lingkungan paling penting yang membentuk kepribadian anak. Apa lagi yang ditawarkan oleh sebuah keluarga selain kehangatan? Nah, data yang saya telah dapatkan, menyebutkan bahwa Parenting tidak jauh-jauh dari gambaran tersebut. Parenting pada umumnya selalu merujuk pada suasana kegiatan belajar mengajar yang menekankan kehangatan, seperti sebuah keluarga yang membuat anak nyaman, bukan ke arah suatu pendidikan satu arah yang mengerucut pada sebuah emosi. Secara disengaja ataupun tidak, disadari maupun tidak, cara mendidik orang tua terhadap anak, baik langsung maupun tidak langsung sangatlah menentukan karakter anak. Semua perilaku orang tua sehari-hari baik yang berhubungan langsung dengan anak maupun tidak, yang dapat ditangkap maupun dilihat oleh anak-anaknya, akan berdampak panjang bagi kehidupan sang anak di masa depan.
Dari pemaparan sedikit diatas, dapat disimpulkan bahwa, tugas utama mencerdaskan anak bukanlah pada sekolah, melainkan tetap pada orang tua. Meskipun anak juga telah dimasukkan ke sekolah agama, peran orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak sangatlah penting dalam mengembangkan potensi anak. Proses penanaman aqidah berada di tangan orang tua, karena dalam hal ini keluarga diberi kepercayaan oleh Allah untuk mendidik dan mengasuh anak-anak mereka. Hal tersebut dikarenakan, manusia dianggap sebagai makhluk psycho-physics neutral, yaitu makhluk yang memiliki kemandirian (self ensteem) jasmaniah dan rohaniah. Sehingga di dalam kemandirannya itulah, manusia mempunyai potensi dasar atau kemampuan dasar yang dapat tumbuh dan berkembang.
Namun, keluar dari berbagai aturan di atas, pada kenyataannya, pertumbuhan dan perkembangan anak yang selalu memerlukan pendidikan dan bimbingan tersebut, belakangan menjadi tidak terarah. Orang tua cenderung memercayai sepenuhnya yang dibuat sekolah, dan selanjutnya memilih bergulat dengan kesibukan mementingkan urusan duniawi, hingga perlahan melupakan tugasnya sebagai orang tua yang menerima dan harus menjaga titipan tuhan, yakni anak. Seolah waktu untuk bekerja menjadi lebih berharga ketimbang karakter dan kepribadian anak kesayangan, tanpa sedikitpun ada kekhawatiran tentang apa yang dipelajari sang anak.
Oleh karena itu, menarik apabila guru bersama sekolah mempunyai strategi unik dalam menanamkan parenting orangtua terhadap anak. Dalam hal ini, Cross Country, menjadi sebuah tawaran metode. Dimana secara tidak kentara, melalui kegitan tersebut sekolah menarik orangtua dan anak yang telah jauh kembali dekat. Kemudian kembali menciptakan sebuah kehangatan melalui proses belajar, atau sebaliknya proses belajar menjadi hangat lantaran tertanam rekaman dalam ingatan sang anak, tentang orang tua yang tampak hadir mendukung sepenuhnya apa yang dipelajari dan dikerjakan olehnya.
Nah, disinilah kemudian muncul ide saya untuk bagaimana dallam sebuah kesempatan, dapat mengikuti cara unik teman dan guru SD Islam Nabawi Kedungadem dalam mengaplikasikan metode pendidikan cerdas bersama alam disertai dengan parenting orang tua murid. Rupanya kegiatan tersebut, mampu memberikan penyadaran yang cukup kuat dalam mengembalikan peran dan fungsi keluarga dalam mendidik anak. Sehingga kedepan, tumbuh kesadaran dari orangtua bahwa kepribadian anak tidak cukup bergantung pada pendidikan di sekolah. Namun, pendidikan sejak dini dalam lingkungan keluarga lah yang menjadi lebih utama. Karena pepatah lama, keluarga, dalam hal ini orang tua, atau ibu adalah sekolah pertama bagi anak, maka memadukan cross country dengan parenting tidak mustahil akan mampu menjadi alternatif baru dalam membangun pendidikan kan?. (lyn/kik)