Kesaktian Pancasila yang Mulai Pudar
Jumat, 02 Oktober 2015 09:00 WIBOleh Linda Estiyanti *)
*Oleh Linda Estiyanti
Kemarin, 1 Oktober, menjadi salah satu hari bersejarah untuk Indonesia. Sejak tahun 1965 hingga sekarang, tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Entah kesaktian seperti apa yang sesungguhnya termaktub dalam isi pancasila. Namun tidak banyak masyarakat mengetahui makna kesaktian Pancasila secara tajam, setajam mata pisau.
Sejarahnya, beberapa referensi mengatakan, bahwa ditetapkannya 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila adalah untuk mengenang kejadian dan korban atas tindakan kekerasan yang dilakukan saat tejadinya Gerakan 30 September 1965, atau dikenal G 30 S, yang mencoba merongrong Pemerintahan Indonesia yang berasaskan Pancasila.
Catatan sejarah menyatakan bahwa G 30 S itu dilakukan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu mengaku sebagai Dewan Revolusi. Salah satu yang dibawa oleh PKI adalah sebuah ideologi komunis yang diadopsi dari Moskow. Ideologi ini coba dipaksakan menjadi asas negara Indonesia. Jelas, aksi PKI itu sangat bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila.
Melihat sepak terjang PKI yang sangat arogan tersebut, sebagian besar masyarakat Indonesia menolak keberadaan PKI, termasuk para pejabat pemerintah saat itu. Hingga pada puncak kebiadaban dan keganasan yang dilakukan PKI yaitu pada tanggal 30 September 1965. Tragedi itu sering dikenal dengan nama peristiwa lubang buaya.
Hingga keesokan harinya, pada 1 Oktober 1965, putra-putra terbaik bangsa ditemukan berguguran di dalam sebuah sumur tua. Mereka kini memiliki gelar sebagai pahlawan revolusi. Di lokasi tersebut dibangunlah sebuah tugu yang dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.
Meletusnya pemberontakan G 30 S PKI hingga dibubarkan dan dilarangnya berkembangnya paham komunis di Indonesia, terbitnya Supersemar, hingga tumbangnya pemerintahan Presiden Soekarno merupakan tonggak berdirinya masa pemerintahan Orde Baru yang kemudian digulingkan juga dan digantikan oleh generasi Reformasi.
Peristiwa 1 Oktober 1965 merupakan cikal bakal berdirinya masa Orde Baru dan menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tahunnya sekaligus hari libur nasional. Penetapan itu didasari oleh peristiwa yang terjadi pada hari dan bulan itu, di mana telah terjadi suatu usaha perongrongan Pancasila, namun berhasil digagalkan. Namun setelah Orde Baru runtuh, tepatnya setelah muncul generasi Reformasi, hari kesaktian Pancasila tidak lagi menjadi hari libur nasional.
Nah, setelah mengetahui sejarah Kesaktian Pancasila. Selanjutnya saya mencoba untuk mencari tahu apa makna sesungguhnya memperingati Hari Kesaktian Pancasila itu?
Kesaktian Pancasila semestinya tidak diartikan sebagai cerita heroik saja, melainkan pandangan serta nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila mampu ditransformasikan oleh komponen bangsa dalam berkehidupan kebangsaan dan bernegara.
Pancasila itu mengandung nilai yang sangat penting bagi bangsa, oleh karena itu Pancasila dijadikan sebagai asas negara. Berarti setiap warga negara mulai dari pejabat, politisi, birokrat, aparat, aktivis, aktivis keagamaan, buruh, pedagang, petani, nelayan, profesional, mahasiswa, pelajar, pengais sampah, pengangguran, tahanan dan masih banyak lagi, haruslah tindak tanduknya didasarkan pada nilai-nilai dan semangat Pancasila.
Pada kenyataannya, nilai-nilai dan semangat Pancasila yang dulu sangat membumi, kini bagai tercabut seperti tumbangnya pohon-pohon di hutan karena pembalakan liar. Kebersamaan dan persaudaraan yang dulu erat kini mulai melemah. Padahal bangsa kita adalah bangsa yang beragam, kaya akan perbedaan, bangsa yang semestinya menjunjung tinggi pruralitas. Sehingga seharusnya keberagaman bukan untuk dihilangkan melainkan untuk dihargai, dihormati dan diperlakukan secara adil.
Upacara peringatan kesaktian Pancasila telah digelar kemarin di seluruh wilayah di tanah air. Tak terkecuali, di kota saya, Bojonegoro. Bupati mempimpin langsung jalanya upacara hari sakti tersebut. Namun, sepertinya kesaktian itu tak sehebat kedengarannya. Kesaktian Pancasila mengalami kesakitan. Kesakitan yang lumayan akut dan tidak segera diobati. Pancasila hanya dijadikan sebagai simbol yang tak bermakna.
Fenomena yang membuat hati terenyuh adalah ketika dalam sebuah kepentingan, rekat keberagaman menjadi terkoyak-koyak oleh permainan politik busuk dari oknum pejabat busuk dan dari partai yang tidak memegang teguh pruralitas. Perbedaan agama, suku dan warna kulit yang sejak dulu terjaga, kini menjadi topik sempurna untuk dipanasi demi kepentingan sesaat yang sifatnya individualistik. Kemudian muncul fanatisme golongan yang bersifat negatif, hingga pancasila sila ke tiga pun hancur tersakiti tak disaktikan lagi.
Banyak partai berdiri dengan asas yang bertentangan dengan Pancasila. Sehingga partai politik yang seharusnya lebih aspiratif terhadap keberadaan rakyat serta peranannya dalam mengkonsolidasi demokrasi menjadi cacat. Pancasila sila ke empat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, pun mengalami degradasi yang signifikan ke arah kebangkrutan.
Hal yang sangat menyakitkan juga terjadi di negeri ini. Hukum seolah-olah berjalan dalam ruang yang gelap. Rakyat mencuri sebatang kayu harus meringkuk di bui tahun-tahunan, sementara mereka para bos yang mencuri berbatang-batang kayu dibiarkan berkeliaran menjaja menghidupi lokalisasi. Oh, mati sudah, keadilan dikebiri oleh sandiwara lucu para bedebah pembeli hukum yang sukses, hingga mengalahkan kesuksesan Mario Teguh dan salam supernya. Luntur sudah kesaktian sila ke lima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemudian, ketika Tuhan memberikan nikmat kedudukan dan kekuasaan, para pejabat perut gendut itu terus menggendutkan perutnya, memakan uang rakyat. Rakyat harus kerja kerja kerja, sementara mereka bermesraan dengan kursi dewan yang empuk hingga tertidur dan lupa dengan amanat rakyat. Lupa ketika Tuhan masih mengawasi dan menunggu pertanggungan atas sumpah jabatan yang diucap beberapa waktu lalu. Oh, dimanakah jalan yang Tuhan telah tunjukkan, mengapa tidak mengikuti jalan itu. Oh, ternyata Tuhan telah mereka ketiaki. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, sebuah bencana, mereka sendiri telah mencabut nyawa Pancasila sila pertama.
Berbicara kesejahteraan dan kemanusiaan ironis lagi, itu hanya cerita dongeng di negeri impian. Masih hangat, tragedi tewasnya Salim Kancil, seorang rakyat biasa yang dengan gigih berani menentang tambang mekanik oleh oknum penguasa. Nyawa Salim seolah lebih murah ketimbang gemerincing yang dihasilkan oleh pekerjaan yang merusak itu. Ia dibunuh dengan tanpa kemanusiaan. Biadab dan tak beradab. Terkutuklah para manusia penyiksa yang menjual nyawa untuk sebuah kesejahteraan. Semoga bupati dan penegak hukum tidak buta dan tuli atas pertunjukkan tentang kebiadaban yang terjadi di depan mata ini. Pancasila sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab pun terasa hambar dan basi, manalah mungkin untuk dicicip.
Yang saya tahu, Pancasila lahir sebagai landasan dan falsafah yang mengatur dan mengikat kehidupan bangsa. Sudah sepandai dan secerdas apakah bangsa ini? Hingga dengan enteng mengabaikan nilai-nilai Pancasila, yang katanya cermin karakter dan budaya bangsa. Salah apa Pancasila sehingga seolah menjadi anak tiri yang tak berharga dimata bangsanya sendiri? Sampai sekarang saya masih mencari jawaban untuk pertanyaan saya yang bodoh ini. (lyn/kik)
Sumber foto www.satuharapan.com