Memaknai Ketokohan Ki Andong Sari
Rabu, 18 November 2015 14:00 WIBOleh Khoirul Anam
Oleh Khoirul Anam
Mengapa seorang tokoh diperingati, dihayati, dipuja dan dijadikan ikon bahkan panutan? Begitulah tanya yang mencuat dalam benak kala mengikuti Kirab Pusaka Ki Andong Sari, pagi kemarin, Selasa (17/11), di Ledok Kulon. Pada akhirnya, pertanyaan itu mengerucut pada, siapakah Ki Andong Sari?
Juru Kunci makam Ki Andong Sari, Muhammad Suwono, bercerita sedikit tentang tokoh penting ini kepada saya saat ditemui di sela-sela kirab pusaka.
“Ki Andongsari ini adalah seorang bupati yang luar biasa saat itu,” kata Suwono memulai. “Dia berasal dari Jawa Tengah lalu kemudian mengembara dan sampai di Desa Ledok Kulon, berdakwah menyebarkan agama Islam di sini (Ledok Kulon),” katanya.
Ki Andong Sari ini, kata Suwono, juga yang babat alas Desa Ledok Kulon, juga Ledok Wetan. Babat alas berarti yang pertama kali membuka lahan, mendirikan dan merintis berdirinya desa.
Meskipun asalnya sendiri bukan dari Ledok. Ia merupakan Tumengung Aryo Mentaun yang menjadi bupati Ngrawan Badander (sekarang menjadi dukuh di Desa Ngraseh, Dander). Pada waktu itu ia mbalela tak mau menghadap ke Mataram.
Sultan Mataram kemudian menyampaikan surat pada Panembahan Madura, agar Tumenggung Mentaun datang ke Madura. Sesampainya di Madura, Tumenggung Mentaun akhirnya menghadap Panembahan yang kala itu adalah Cakraningrat. Usut punya usut ternyata Penembahan Madura memiliki niat untuk menguasai kerajaan Ngrawan. Karena tidak terima bila kerajaannya hendak dikuasai, Aryo Mentaun melawan dan membuat Cakraningrat menjadi murka hingga muncul peperangan.
Aryo Mentaun kemudian lari meninggalkan Madura. Sementara para prajurit Panembahan Madura mengejarnya hingga ke Ngrawan. Namun Aryo Mentaun menyamar sebagai warga biasa dan memutuskan untuk tidak kembali ke Ngrawan. Ia menyamar sebagai pemain kentrung dan mengembara. Sampilah dia di Ledok. Disana ia bertemu dengan seorang gadis setempat yang bernama Sari. Dan karena diantara keduanya muncul rasa cinta, maka mereka menikah. Pada akhirnya, Aryo Mentaun memperkenalkan dengan nama Andong. Lama kelamaan dia dikenal orang sebagai Andong Sari.
Ki Andong Sri juga dianggap dikelilingi mistik. Seperti salah satu kisahnya, sebagaimana diceritakan oleh Suwono, pernah suatu ketika saat dia makan siang, dia melihat kerumunan warga mengeluh kepanasan di tepi Bengawan Solo. Ternyata mereka tengah menunggu datangnya tukang perahu penyeberang sungai. Karena terlalu lama, akhirnya Ki Andong Sari membantu mereka dengan menggunakan salah satu pusakanya yang berupa kayu bernama Menjaling Abang. Dengan kayu itu dia bisa mengangkut warga yang ingin menyeberang.
Banyak benda-benda pusaka milik Ki Andong Sari. Kirab kemarin, adalah kirab benda pusaka itu, selain memperingati Haulnya. Benda-benda pusaka itu di antaranya; Gagak Cemani, Godong Andong, Godong Kelor, Menjalin Bang, Menjalin Porong, Pedang Cakra Budaya, Kentrung, dan Kutang Onto Kusumo.
Namun bukan tentang pusaka-pusaka itu yang menarik bagi saya. Sehebat apapun pusaka-pusaka yang dimiliki seseorang, tanpa adanya kebaikan dan perjuangan yang dilakukan, terasa percuma. Bukan bermaksud meniadakan keberadaan benda-benda pusaka itu. Tapi perhatian yang berlebih pada benda-benda itu kalau dipikir-pikir bisa melenakan. Diperlukan pemaknaan agar sebuah benda tidak sekadar benda. Cara yang paling mudah dan sederhana dilakukan adalah dengan membaca sejarah bagaimana benda-benda itu berfungsi pada masanya.
Juga, dalam kacamata masyarakat modern, benda-benda itu selayaknya dimaknai sebagai simbol saja. Termasuk Ki Andong Sari sendiri. Alangkah kurang etisnya bila hanya kita pandang sebagai hanya sekadar Ki Andong Sari sebagai tubuh yang telah berkalang tanah. Dia adalah tokoh. Dia adalah sosok yang dirindui dan dipuja. Bukan sekadar nama, melainkan apa yang telah Ki Andong Sari perbuat.
Catatan : Cerita Ki Andong Sari diolah dari cerita lisan M. Suwono, tokoh masyarakat, modin desa Ledok Kulon.
Foto M. Suwono di makam Ki Andong Sari (dalam cungkup)