Cak Nun, Sang Kiai Nyentrik
Kamis, 15 September 2016 07:00 WIBOleh Muhammad Roqib *)
*Oleh Muhammad Roqib
Dulu sewaktu masih bertugas meliput di Malang, pimpinan surat kabar tempat saya bekerja menugasi liputan di salah satu hotel ternama. Katanya dia ada pembicara yang layak dijadikan narasumber sebagai berita. Kebetulan pimpinan saya itu pengagum sang pembicara itu tetapi dia tidak bisa hadir karena ada acara penting lainnya yang harus dia ikuti. Seingatku saat itu bulan Puasa. Tema dialog yang digelar di hotel itu kalau tidak salah tentang konsep perbankan syariah. Nah itu dia pembicaranya ternyata Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun. Wah, saya senang sekali karena biasanya melihat Cak Nun di televisi, kini bisa bertemu langsung dan sekaligus bisa wawancara dengannya. Cak Nun, sang kiai nyentrik.
Cak Nun muncul dengan gaya khasnya yang santai. Ia memakai celana hitam, baju koko, dan memakai sandal jepit. Rambutnya seperti biasa agak panjang sebahu. Tetapi, ia tidak memakai peci. Gaya bicaranya tenang, kalem, dan setiap kata-katanya penuh makna mendalam. Ia berbicara tentang syariah Islam, konsep perbankan syariah, dan diselingi guyonan-guyonan khasnya. Saya dan mungkin para pegawai bank syariah yang mendengarkan cerita Cak Nun mendapatkan pemahaman baru dan sudut pandang baru. Selama satu jam Cak Nun berbicara seolah tidak terasa. Setelah mengutip beberapa pembicaraannya dan wawancara sebentar, saya langsung balik ke kantor dan mengetik beritanya.
Ada kesan mendalam ketika bertemu dengan Cak Nun, sang kiai yang multitalenta itu. Ia seorang budayawan, penyair, esais, pegiat teater, pemusik, dan sering jadi penengah konflik di tengah masyarakat. Cak Nun juga menjadi motor penggerak di balik kelompok musik Kiai Kanjeng dan pengajian komunitas Jamaah Maiyah yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Suami Novia Kolopaking, artis pemeran Siti Nurbaya, itu minatnya cukup luas mencakup berbagai masalah hangat di bidang sosial, budaya, dan politik.
Dalam dunia menulis Cak Nun cukup produktif. Di antara karya emasnya yang cukup terkenal yaitu Dari Pojok Sejarah (1985), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), Secangkir Kopi Jon Pakir (1992), Markesot Bertutur (1993), Markesot Bertutur Lagi (1994), Slilit sang Kiai, dan Surat kepada Kanjeng Nabi.
Tulisan-tulisannya sangat kritis, ide-idenya segar, dan terkadang mengejutkan. Ia menyibak berbagai persoalan di tengah masyarakat dengan sudut pandang yang sangat berbeda, tidak biasa tetapi masih dalam konteks relijius.
Karya emasnya banyak lahir pada masa kekuasaan Orde Baru yang cenderung otoriter. Tetapi dengan gaya dan pendekatan kebudayaan yang dilakukannya Cak Nun bisa menulis dengan sangat kritis dan spontan. Dulu Pak Harto kabarnya tidak bisa berbuat apa-apa kalau dikritik atau ditegur Cak Nun. Dengan rambut gondrong, Cak Nun dengan seenaknya duduk jigrang di Istana. Tetapi, Pak Harto hanya tersenyum saja melihat tingkah Cak Nun. Pak Harto tahu Cak Nun berjuang dengan tulus dan tidak menginginkan jabatan, kedudukan, apalagi uang.
Ilustrasi foto www.ahmadnaufa.wordpress.com