Malam Takbiran yang Syahdu
Kamis, 24 September 2015 09:30 WIBOleh Muhammad Roqib *)
*Oleh Muhammad Roqib
Mendengar suara takbir berkumandang pada malam takbiran Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Idul Fitri terasa sangat syahdu. Ada getaran di hati yang terkadang sulit diungkapkan. Takbiran di malam Idul Adha atau Idul Fitri selalu mengingatkan saya saat-saat bahagia bisa bermain dan begadang hingga larut malam di surau kecil atau biasa disebut langgar di kampung.
Memakai sarung, sandal jepit, dan memakai peci, selepas magrib saya akan selalu menanti dengan berdebar malam takbiran jadi hari ini atau besok. Bukan hanya saya saja tetapi Pak Kiai juga menunggu dengan cemas pengumuman pemerintah dari radio atau televisi. Kalau sudah ada pengumuman dari Menteri Agama, kami langsung riang dan bergegas berebut speaker dan bertakbir,”Allohu akbar, Allohu Akbar, Allohu akbar. Allohu akbar walillahilham,”. Saya dan anak-anak lainnya begitu bersemangat. Terkadang, takbiran itu juga dibarengi dengan oklik atau bunyi-bunyian yang membuatnya semakin semarak.
Orang-orang di kampung juga begitu senang menyambut malam takbiran. Perasaan spiritual begitu pekat. Keluarga berkumpul di rumah. Saudara dan kerabat dari kota pulang ke rumah hanya ingin sekadar berkumpul dan melewati hari raya di rumah. Hewan kurban seperti kambing dan sapi yang diikat di sekitar surau atau langgar jadi tontotan dan mainan.
Malam takbiran, kami biasanya tidur bareng-bareng di surau. Lewat tengah malam biasanya baru bisa tidur. Karena hanya tidur beberapa jam, saat dibangunkan untuk salat subuh rasanya mata masih berat. Tetapi, kami biasanya tetap bangun karena hari ini adalah hari istimewa. Setelah salat Subuh, kami pulang ke rumah dan segera mandi. Nah, saat yang tidak boleh dilewatkan adalah salat Ied di masjid kampung. Memakai busana muslim yang paling bagus, kami akan bertegur sapa dengan teman-teman dan ngobrol sambil jalan menuju ke masjid. Lantunan suara takbir membuat suasananya begitu ngelangut, mendebarkan dan menemtramkan. Saya sering sekali berpikir seandainya setiap hari selalu seperti ini alangkah senangnya.
Salat Ied selalu ramai dan masjid selalu penuh. Bahkan, terkadang sampai harus salat di halaman masjid. Katib biasanya bercerita tentang kisah keteladanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Bapak dan anak itu begitu bertakwa dan menjadi teladan bagi umat Muslim. Saya sering mendengarkan kutbah itu sambil terkantuk-kantuk, maklum karena kurang tidur semalam.
Nah, setelah salat Ied, saya dan teman-teman akan langsung ke tempat penyembelihan hewan kurban. Saya biasanya tidak berani melihat saat kambing atau sapi itu disembelih. Tetapi, setelah dikuliti dan dipotong-potong biasanya saya berani mendekat. Para pemuda kampung terlihat begitu cekatan menguliti dan memotong daging kurban itu lalu dibagi-bagikan. Saya dan teman-teman kemudian membagikan daging kurban itu pada warga di kampung. Mereka yang mendapatkan daging kurban akan menerima dengan senyum lebar sambil berucap terima kasih. Wah, senang sekali saat momen seperti itu. Setelah semuanya selesai dan daging kurban telah dibagikan, kami biasanya menyisihkan sedikit daging kurban untuk disate. Nah, ini juga kebahagiaan tersendiri. Sate daging kambing yang empuk dan gurih dicampur dengan kacang, kecap, bawang merah, dan jeruk terasa sangat lezat sekali. Kenikmatan yang hanya datang pada saat Hari Raya Kurban seperti ini.
Suasana Hari Raya Idul Adha yang membahagiakan itu selalu saya syukuri. Mungkin bukan hanya saya saja, tetapi juga warga kampung lainnya selalu menjalani perayaan Idul Adha itu dengan bahagia. Kebahagiaan merayakan Idul Adha ini dirasakan oleh semua warga kampung.
Saya mungkin tidak akan merasakan kebahagiaan yang sama ketika menjalani masa kecil di Istanbul, Turki. Orhan Pamuk, sang peraih Nobel Sastra asal Turki itu bercerita tentang kehidupan masa kecilnya dalam buku berjudul Istanbul, Kenangan Sebuah Kota. Ia bercerita dengan vulgar bagaimana kehidupan beragama orang-orang Istanbul, Turki. Orang-orang kaya di Istanbul yang sebagian besar keturunan Yunani menganggap agama itu hanya milik orang-orang miskin. Kesalehan itu identik dengan kemiskinan. Orhan Pamuk yang masa kecilnya hidup dengan golongan orang kaya ini, mengakui banyak orang mengaku beragama tetapi jarang yang menjalankan puasa dan salat. Orhan Pamuk merasakan, orang-orang kaya itu menjalani gaya hidup dan pemikiran seperti orang-orang barat, tetapi kosong spiritual.
Kondisi sosial di Istanbul itu tidak lepas dari gerakan pembaratan atau sekulerisme yang digelorakan oleh Attaturk. Setelah kejatuhan Kesultanan Usmani, Turki berubah menjadi republik. Pemikiran barat diserap, tetapi jiwa dan kebudayaan timur berusaha tetap dipertahankan.
Sekali lagi saya bersyukur bisa menjalani Hari Raya Idul Adha di kampung. Suasana syahdu saat takbiran dan saat berkumpul dengan keluarga begitu istimewa. Suasana seperti ini tentu tidak akan anda rasakan ketika berada di pusat keramaian seperti di perkotaan. Selamat Hari Raya Idul Adha 1436 Hirjriyah. Salam.
Foto ilustrasi kaskus.co.id